• Info MPR

Bamsoet Tegaskan Perlunya MPR RI Kembali Memiliki Kewenangan Subyektif Superlatif

Agus Mughni Muttaqin | Jum'at, 28/07/2023 11:15 WIB
Bamsoet Tegaskan Perlunya MPR RI Kembali Memiliki Kewenangan Subyektif Superlatif Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) dalam acara podcast Pembaharuan Hukum Nasional bersama Direktur Pascasarjana/Ketua Prodi Doktor Hukum Universitas Borobudur Jakarta Prof. Dr. Faisal Santiago, di Jakarta, Kamis (27/7/23). (Foto: Humas MPR)

JAKARTA - Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) menegaskan perlunya mengembalikan kewenangan MPR RI menggunakan kewenangan subjektif superlatif MPR RI sebagai lembaga tertinggi negara. Kewenangan subjektif superlatif penting berada di MPR jika negara dihadapkan pada situasi kebuntuan politik antar lembaga negara atau antar cabang kekuasaan.

"Indonesia perlu segera menyiapkan langkah-langkah antisipasi terjadinya situasi darurat konstitusi atau kedarutan. Di mana konstitusi tidak dapat lagi terlaksana," ujar Bamsoet dalam acara podcast Pembaharuan Hukum Nasional bersama Direktur Pascasarjana/Ketua Prodi Doktor Hukum Universitas Borobudur Jakarta Prof. Dr. Faisal Santiago, di Jakarta, Kamis (27/7/23).

Bamsoet menjelaskan misalnya, ketika terjadi kebuntuan politik antara lembaga kepresidenan dengan lembaga DPR. Atau jika terjadi kebuntuan politik antara pemerintah dan DPR dengan lembaga Mahkamah Konstitusi. Serta jika terjadi sengketa kewenangan lembaga negara yang melibatkan MK. Padahal sesuai asas peradilan yang berlaku universal, hakim tidak dapat menjadi hakim bagi dirinya sendiri, maka MK tidak dapat menjadi pihak yang berperkara dalam sengketa lembaga negara.

"Menurut saya, TAP MPR merupakan salah satu solusi manakala terjadi kebuntuan konstitusi dan kedaruratan atau kegentingan yang memaksa, seperti halnya Presiden yang memiliki kewenangan PERPPU manakala terjadi kedaruratan atau kegentingan yang memaksa," ujar Bamsoet.

Bamsoet juga mengingatkan tentang kekhawatiran yang pernah disampaikan oleh Ahli Hukum Tata Negara Profesor Yusril Ihza Mahendra tentang perlunya Indonesia memikirkan tata cara pengisian jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum karena suatu kedaruratan penyelenggaraan Pemilu ditunda.

"Misalnya kedaruratan disebabkan gempa bumi megathrust di selatan Pulau Jawa, kerusuhan massal, maupun karena pandemi global yang terulang kembali, sehingga Pemilu harus ditunda,” jelas Bamsoet.

Dikatakannya, Pasal 431 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, telah mengatur tentang penundaan Pemilu, yakni disebabkan karena terjadinya kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian dan atau seluruh tahapan penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan.

"Namun tidak ada ketentuan dalam konstitusi maupun dalam perundangan mana pun tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan karena penundaan Pemilu,” tegas Bamsoet.

Tidak adanya ketentuan hukum tentang tata cara pengisian jabatan publik yang disebabkan karena penundaan Pemilu, lanjutnya, menjadi salah satu yang terlewatkan pada saat melakukan amendemen konstitusi yang dimulai pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.

Padahal kata Bamsoet, bisa saja suatu saat nanti bangsa Indonesia menghadapi kondisi force majeure yang luar biasa sehingga menyebabkan Pemilu tidak dapat dilaksanakan sesuai ketentuan yang ditetapkan. Termasuk jika suatu ketika capres/cawapres hanya calon tunggal yang terpaksa berhadapan dengan kotak kosong dan harus memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 6A Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan: Pasangan Capres dan Cawapres yang mendapatkan suara lebih dari 50 % dari jumlah suara dalam Pemilu dengan sedikitnya 20 % suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

FOLLOW US