JAKARTA - Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Dewan Penasehat Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Bambang Soesatyo membuka kegiatan National Leadership Camp ICMI Angkatan I, di Gedung Nusantara IV Komplek Parlemen. Kegiatan ini selama dua hari pada 29 dan 30 November 2022, dihadiri sekitar 270 peserta yang terdiri dari pengurus ICMI dari tingkat pusat hingga daerah. Meneguhkan kembali khittah ICMI yang mengusung keIndonesiaan dan keislaman berbasiskan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kelahiran ICMI sekitar 32 tahun yang lalu bukanlah sebuah kebetulan sejarah. Dari perspektif politik global, berakhirnya era perang dingin dan konflik ideologi menandai kebangkitan dunia Islam sebagai ideologi peradaban. Bagi sebagian pihak, kebangkitan ini dimaknai sebagai ancaman terhadap hegemoni peradaban Barat. Boleh jadi, pemikiran Samuel Huntington tentang `benturan peradaban` cukup mewakili kekhawatiran dunia Barat, bahwa kebangkitan identitas budaya dan agama akan menjadi sumber konflik utama di dunia.
"Indonesia adalah sebuah miniatur global yang menjadi antitesis dari teori Samuel Huntington tersebut. Di Indonesia, hubungan antara institusi keagamaan dan pemerintahan dapat dijembatani secara sinergis dan kolaboratif. Di tengah kompleksitas dan kemajemukan sosial budaya yang begitu beragam, keberadaan agama turut berkontribusi bagi penguatan nilai-nilai demokrasi. Kelahiran ICMI menandai bahwa pemerintah dan negara mengakui peran dan pengaruh kaum intelektualitas Islam di tanah air," ujar Bamsoet saat membuka National Leadership Camp ICMI Angkatan I, di Gedung Nusantara IV Komplek Parlemen, Jakarta, Selasa (29/11/22).
Menjelang usianya yang ke 32 tahun ICMI turut dihadapi pada tiga tantangan zaman dalam memberikan kontribusinya kepada bangsa dan negara. Pertama, kondisi dunia yang saat ini tidak baik-baik saja. Disebabkan pandemi Covid-19 serta geopolitik global yang sedang memanas, mulai dari eskalasi ketegangan di Taiwan dan semenanjung Korea, hingga konflik bersenjata di beberapa negara seperti Yaman, Ethiopia, Afghanistan, Myanmar, serta khususnya Rusia-Ukraina.
"Dampak yang ditimbulkan oleh berbagai persoalan global tersebut begitu masif dan kompleks. Dunia dihadapkan pada ancaman resesi global, di mana lebih dari 60 negara terancam akan mengalami kebangkrutan ekonomi dan ambruk. Ratusan ribu penduduk dunia tewas dalam konflik bersenjata, sementara puluhan juta menjadi pengungsi," jelas Bamsoet.
Tantangan kedua, dunia Islam juga masih dihadapkan pada persoalan klasik yang terlanjur menjadi kelaziman konsepsi yang salah kaprah, di mana Islam selalu direpresentasikan dengan aksi radikalisme dan terorisme. Dalam dimensi budaya, misalnya dalam film-film barat, penggambaran pelaku teroris selalu dikaitkan dengan dunia Islam. Dalam realita, merujuk pada survei New America tahun 2015, terungkap fakta bahwa aksi teror di negara Amerika Serikat lebih banyak dipicu kelompok sayap kanan fasis.
"Kita juga tidak dapat menafikan fakta bahwa gambaran Islam moderat, Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, belum menjadi tren wacana global. Di Indonesia, meskipun Islam moderat telah menjadi arus utama, namun paham radikalisme dan ancaman terorisme yang mengatasnamakan Islam masih menyisakan pekerjaan rumah. Laporan Global Terrorism Index menyebutkan bahwa potensi ancaman terorisme di Indonesia menempati urutan ke-24 dari 162 negara yang disurvei," terang Bamsoet.
Tantangan ketiga, dalam konteks kehidupan politik nasional, bangsa Indonesia akan dihadapkan pada agenda besar nasional, yaitu penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak tahun 2024. Sejarah mencatat, penyelenggaraan Pemilu selalu berpotensi menyisakan residu persoalan, menyebabkan polarisasi rakyat pada kutub-kutub yang berseberangan, merusak atmosfer persatuan dan kesatuan segenap anak bangsa, dan bahkan memicu konflik horisontal berkepanjangan.
"Di sinilah peran penting ICMI untuk turut menyukseskan agenda nasional tersebut, dengan menjadi bagian dari solusi atas berbagai potensi persoalan dan ekses dari penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada Serentak. Segenap kader ICMI juga memiliki tanggungjawab moral membangun literasi politik rakyat untuk meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi. Sekaligus memastikan kepemimpinan terpilih melalui Pemilu, baik di parlemen maupun di pemerintahan, bukan sekedar ditentukan oleh demokrasi elektoral berupa angka-angka. Melainkan harus lahir dari demokrasi prosedural sesuai dengan Pancasila sebagai jati diri bangsa," pungkas Bamsoet