• Info MPR

Waket MPR Soroti Angka Putus Sekolah

Agus Mughni Muttaqin | Rabu, 07/06/2023 20:18 WIB
Waket MPR Soroti Angka Putus Sekolah Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat membuka diskusi daring bertema Mengurangi Angka Putus Sekolah dalam Mempersiapkan Generasi Penerus Menuju Indonesia 2045, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (7/6). (Foto: Humas MPR)

JAKARTA - Wakil Ketua MPR Lestari Moerdijat mengatakan, ruang pembelajaran harus dibuka seluas-luasnya bagi setiap anak bangsa dengan mengoptimalkan sumber daya semaksimal mungkin. Hal ini guna mempersiapkan generasi emas dan berdaya saing di masa datang.

Hal tersebut disampaikan Lestari saat membuka diskusi daring bertema Mengurangi Angka Putus Sekolah dalam Mempersiapkan Generasi Penerus Menuju Indonesia 2045, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (7/6).

"Peningkatan angka putus sekolah selama pandemi maupun disrupsi saat ini menunjukkan kita belum mampu melalui situasi krisis dan ketidakpastian global secara smooth di sektor pendidikan," kata Lestari.

Lestari menyebutkan laporan BPS menunjukkan angka putus sekolah kembali meningkat pada 2022, setelah mengalami tren penurunan sejak 2016.

Menurut Lestari, fenomena putus sekolah tidak bisa dianggap remeh sehingga dibutuhkan penanganan dan solusi yang serius jika bangsa ini ingin mencerdaskan seluruh anak bangsa, meningkatkan kualitas SDM dan menuju pencapaian kesejahteraan nasional.

Rerie sapaan akrab Lestari berpendapat, putus sekolah dapat disebabkan berbagai faktor yakni ketidakinginan individu untuk melanjutkan sekolah, beban belajar yang terlampau berat, kemalasan, masalah finansial rumah tangga, atau masalah lain yang menyebabkan siswa/i memutuskan tidak melanjutkan sekolah.

Keluarga dan lingkungannya, tegas Rerie, menjadi pemerhati pertama untuk menyikapi persoalan putus sekolah itu.

Pemerintah, tambah Rerie, melalui setiap inisiatifnya mesti memahami bahwa tidak semua anak memiliki kesempatan yang sama dan dukungan sumber daya yang sama dalam mengenyam pendidikan.

Seluruh elemen masyarakat, pemerhati pendidikan dan pemerintah, tegas Rerie, harus memiliki political will dalam mewujudkan generasi emas yang berdaya saing melalui membuka seluas-luasnya kesempatan belajar bagi setiap warga negara.

Kapoksi Komisi X Fraksi NasDem DPR RI, Ratih Megasari Singkarru mengungkapkan pada periode 2012-2023 rata-rata peserta didik hanya mengenyam pendidikan delapan tahun, bahkan di sejumlah daerah tertentu ada yang hanya tujuh tahun. Padahal penerapan wajib belajar selama 12 tahun.

Sejumlah kendala, ujar Ratih, menjadi penyebab kondisi tersebut seperti kondisi ekonomi keluarga, daya tampung sekolah, faktor geografi, pandemi dan pemahaman keluarga tentang pendidikan.

Karena kendala finansial, banyak anak usia sekolah terpaksa bekerja. Selain itu, tambahnya, daya tampung SMA dan SMK yang terbatas menyebabkan tidak mampu menampung seluruh lulusan SMP.

Demikian juga faktor geografis, dengan kepadatan penduduk yang rendah, ujar Ratih, ada biaya tambahan untuk menuju ke sekolah.

Padahal, tegas Ratih, dampak putus sekolah akan menyebabkan IPM rendah, pengangguran dan sulit meningkatkan kesejahteraan.

Ratih berpendapat semakin terintegrasinya data antarkementerian akan sangat membantu mewujudkan proses pendidikan yang tepat kepada setiap anak bangsa yang membutuhkan.

Sementara itu, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbudristek RI, Anindito Aditomo berpendapat, untuk melihat angka putus sekolah harus dikaitkan secara historis.

Bila dibandingkan dengan kondisi 20 tahun lalu, ujar Anindito, sebenarnya saat ini terjadi peningkatan angka partisipasi sekolah bahkan mendekati 100%.

Pekerjaan rumah yang masih dihadapi, tambah dia, adalah pada jenjang SMA yang hingga saat ini angka partisipasinya baru mencapai 73,15%.

Pada kesempatan itu, Anindito mengungkapkan, bahwa Wajib Belajar 12 tahun sebenarnya masih pada tingkat komitmen, secara undang-undang saat ini yang berlaku adalah Wajib Belajar 9 tahun. Hal itu terlihat dari realisasi angka partisipasi sekolah di tingkat SMP yang saat ini sudah mencapai 95%.

Diakui Anindito, saat ini masih terjadi kesenjangan dalam mengakses pendidikan di tanah air dengan berbagai latar belakang kendala yang dihadapi.

Anindito berpendapat pendidikan itu harus dibuat bermakna dan relevan sehingga ketika seorang anak disekolahkan hasilnya mampu memenuhi harapan keluarga mereka.

Program Merdeka Belajar, menurut dia, merupakan bagian upaya pemerintah meningkatkan akses untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Sekolah harus menjadi tempat yang membuka kesempatan pengembangan profil pelajar Pancasila.

Sehingga, tegas Anindito, setiap satuan pendidikan harus bertransformasi menjadi lingkungan belajar yang aman, efektif dan menantang.

 

FOLLOW US