JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengkritisi dan menolak wacana Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa untuk menghapuskan Kota dan Kabupaten Administratif beserta jabatan walikota dan bupati di Provinsi DKI Jakarta pasca Jakarta tidak lagi menjadi ibukota Indonesia.
“Usulan itu jadi seperti melupakan peran dan jasa mensejarah kota Jakarta, kota terlama sebagai Ibukota NKRI dan tempat diproklamasikannya kemerdekaan RI. Wacana itu menunjukan setelah Jakarta tidak lagi menjadi ibukota, Jakarta malah akan diperlakukan tidak adil dibanding provinsi-provinsi dengan keistimewaan maupun tanpa keistimewaan,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (29/11).
HNW sapaan akrabnya, mengingatkan agar semua pihak yang ingin memikirkan nasib Provinsi Jakarta, apabila pemindahan ibukota negara benar-benar terjadi, hendaknya tetap merujuk kepada ketentuan perundangan yang berlaku. Secara prinsip UUD NRI 1945 sudah memberikan aturan dasar, yakni Pasal 18 ayat (1) UUD NRI 1945 yang secara tegas menyebutkan bahwa ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) itu dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota’.
Lalu, Pasal 18 ayat (3), menyebutkan bahwa jabatan kepala pemerintahan kabupaten dan kota itu adalah bupati dan walikota.
“Itu sudah secara tegas disebutkan dalam UUD NRI 1945. Karena status DKI Jakarta itu adalah provinsi, maka provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota. Dan kepala pemerintahannya adalah bupati dan walikota. Jadi, upaya menghilangkan Kota dan Kabupaten dengan Bupati dan Walikotanya itu tidak sesuai dengan ketentuan Konstitusi yang masih berlaku,” jelasnya.
Menurutnya, wacana penghapusan kabupaten/bupati dan kota/walikota di Provinsi DKI Jakarta bukan hanya tidak berdasar kepada UUD NRI 1945, tetapi juga tidak sesuai dengan UU No 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta yang mengatur adanya Kota administratif dan Kabupaten administratif di provinsi DKI Jakarta sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 10, Pasal 7 ayat (1)&(2), dan Pasal 19 ayat (1).
Mengubah ketentuan UU itu tidak bisa dilakukan oleh usulan atau keputusan Menteri, melainkan oleh DPR bersama Pemerintah. Dan sampai sekarang belum ada usulan ke DPR untuk hapuskan Kota/Walikota dan Kabupaten/Bupati di Provinsi Jakarta, pasca terbitnya UU IKN.
“Usulan itu karenanya nampak “grusa grusu”, sebagaimana pandangan mantan Ditjen Otonomi Daerah yang juga Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djoha yang juga mengingatkan jangan asal main hapus dan grusa-grusu,” ujar HNW lagi.
Apalagi, HNW menambahkan bahwa status keistimewaan Jakarta seharusnya tetap melekat, meski kelak tidak menyandang status sebagai ibukota. Beberapa alasan di antaranya adalah dari segi historis (seperti Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang pernah sebentar menjadi ibukota negara), maupun dari segi ekonomi dan wisata seperti Provinsi Bali. Justru dengan adanya “keistimewaan” ini, maka seharusnya Jakarta perlu diperlakukan secara empati dan adil. Bukan justru dikebiri dengan wacana-wacana yang mengkerdilkan status Jakarta, seperti dengan menghilangkan Kota/Walikota dan Kabupaten/Bupati.
Pasalnya provinsi-provinsi dengan keistimewaan, seperti Aceh, Yogyakarta, Papua, semuanya memiliki bupati dan walikota bahkan anggota DPRD tingkat kabupaten dan kota yang dipilih oleh rakyat. Maka, provinsi Jakarta tidak bisa dikecualikan, seperti yang diwacanakan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas itu.
Semestinya demi keadilan sebagaimana ketentuan Pancasila dan UUD NRI 1945, Jakarta yang memiliki jasa dan peran panjang untuk NKRI tidak malah dianaktirikan atau didiskriminasikan, tetapi harusnya diperlakukan adil seperti provinsi-provinsi lainnya, baik yang berstatus Istimewa maupun yang lainnya.
HNW mencontohkan, misalnya, seperti yang diberlakukan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang pernah sebentar jadi Ibukota Republik Indonesia, jumlah penduduknya 3,970,220 jiwa, dan luas wilayahnya 3,185,80km2, tetapi memiliki 1 kota dan 4 kabupaten, dengan walikota, bupati dan bahkan Anggota DPRD tingkat Provinsi/Kota/Kabupaten yang dipilih langsung oleh rakyat. Lalu, Provinsi Bali dengan pusat wisata dan ekonominya dengan jumlah penduduknya 4,317,404 jiwa, dan luas wilayahnya 5,780,06 Km2, tetapi mempunyai 1 kota dan 8 kabupaten, dengan Gubernur/Bupati/Walikota/DPRD Kota/Kabupaten dipilih langsung oleh rakyat.
Oleh karenanya, menurut HNW, seharusnya Provinsi Jakarta yang wilayahya jauh lebih luas dan jumlah penduduknya jauh lebih banyak dari provinsi Yogyakarta dan Bali juga diberlakukan yang adil, tidak diskriminatif dengan Kota dan Kabupatennya malah akan dihapus, sebagaimana wacana Kepala Bappenas itu. Di provinsi Jakarta warganya berjumlah 10,562,088 jiwa dan luas wilayahnya ; 7,659,02 km2. Di Provinsi DKI Jakarta malah hanya ada 1 Kabupaten dan 5 Kota. Maka bila tak lagi jadi Ibukota Negara, mestinya Provinsi Jakarta berhak mendapat perlakuan yang adil, sama seperti provinsi-provinsi yang lain seperti Yogyakarta dan Bali, yakni tetap ada Kabupaten/Bupati Kota/walikota, tidak malah dihapus.
“Semestinya juga diberlakukan ketentuan UUD/UU seperti di provinsi-provinsi yang lain Bupati/Walikota dipilih langsung oleh Rakyat, dan di setiap Kota/Kabupaten juga ada DPRD dan anggota DPRD juga dipilih langsung oleh Rakyat. Itulah juga aspirasi warga Jakarta yang disampaikan kepada saya saat kunjungan kerja ke dapil atau reses,” tukasnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini berpendapat semestinya justru apabila Jakarta tidak lagi menjadi ibukota, maka kekhususan DKI Jakarta tidak malah dihilangkan dengan hal-hal yang menunjukkan ketidaktaatan kepada konstitusi dan UU, itu jenis ketidakadilan dan diskriminasi yang mengganggu harmoni Bangsa. Mestinya Negara justru lebih menghadirkan keadilan bagi warga Jakarta dan provinsi Jakarta, dengan hak untuk memilih pemimpin dan wakil-wakil mereka di tingkat Kota dan Kabupaten secara langsung layaknya daerah-daerah lain.
“Kalau dahulu karena kekhususannya sebagai ibukota, Jakarta sebagai Provinsi tidak memiliki walikota dan bupati serta DPRD Kabupaten dan DPRD Kota yang dipilih rakyat, ke depan, apabila status ibukota itu tidak ada, sebagaimana berlaku di provinsi-provinsi yang lain, di Provinsi Jakarta tetap ada Kota dan Kabupaten, yang bahkan diberlakukan ketentuan yang sama bupati, walikota, dan DPRD Kabupaten dan DPRD Kota, semuanya dipilih langsung oleh Rakyat. Begitulah keadilan sebagaimana ajaran Pancasila dan ketentuan UUD NRI 1945 yang semestinya diwacanakan dan diperjuangkan oleh Kepala Bappenas, jangan malah berlaku tidak adil terhadap provinsi Jakarta dan melupakan jasanya yang mensejarah, dan warganya yang layak mendapatkan keadilan sebagaimana warga Indonesia di provinsi-provinsi lainnya di seluruh NKRI,” pungkasnya.