• Info MPR

Hidayat: Rancangan Perubahan UU Sisdiknas Tidak Mentaati UU Pesantren

Akhyar Zein | Rabu, 31/08/2022 12:45 WIB
Hidayat: Rancangan Perubahan UU Sisdiknas Tidak Mentaati UU Pesantren Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA (foto: Humas MPR)

JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengkritik Rancangan perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Menurut Hidayat, Rancangan perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, itu mencederai Pesantren karena tidak mentaati UU Pesantren.

Hanya menyebutkan satu jenis pesantren di dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Padahal UU Pesantren yang bersifat lex specialis telah mengakui dan memperluas jenis-jenis Pesantren.

Hidayat Nur Wahid merujuk kepada sejumlah ketentuan di dalam Rancangan Perubahan UU Sisdiknas. Seperti Pasal 47, 74 dan 120, yang menyebutkan hanya pesantren yang berbentuk pengajian Kitab Kuning. Padahal, apabila merujuk kepada UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, jelas disebutkan bukan hanya satu saja tapi ada tiga jenis pesantren.

Selain pesantren tradisional yang mengajarkan kitab kuning sebagaimana sudah disebut dalam RUU, ada juga pesantren berbentuk pengajaran Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Mualimin. Juga Pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan umum.

“Laku penyusun Rancangan Perubahan UU Sisdiknas ini tidak menjadi contoh yang baik dalam menaati aturan yang ada. Kalau tidak dikoreksi dapat meredusir pengakuan negara terhadap jenis-jenis pesantren yang disebutkan di dalam UU Pesantren. Juga dikhawatirkan terjadi pembonsaian dan adu domba yang menciptakan kegaduhan di kalangan Pesantren yang sudah sama-sama menerima UU Pesantren. Karenanya sudah seharusnya RUU ini dikembalikan kepada ketentuan yang benar dalam UU Pesantren,” tukasnya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu(1/9/2022).

Anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan keagamaan ini mengutip Pasal 5 ayat (1) UU Pesantren. Ketentuan itu berbunyi, “Pesantren terdiri atas: a) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Pengkajian Kitab Kuning; b) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Mualimin; atau c) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk lainnya yang terintegrasi dengan pendidikan umum.”

“Memang, di dalam RUU Sisdiknas itu merujuk kepada UU Pesantren di berbagai penjelasannya. Namun, ironisnya malah hanya ada penyebutan secara spesifik terhadap salah satu jenis pesantren saja, dan itu dapat mengabaikan keberadaan dua jenis pesantren lainnya yang sama-sama diakui oleh UU Pesantren. Jadi, tidak sinkron dengan UU Pesantren, sehingga harus diperbaiki,” ujarnya.

Hidayat berharap, Kemendikbudristek segera mengkoreksi dan mengakomodasi masukan ini. Seperti saat publik mengkoreksi draft RUU Sisdiknas yang menghilangkan penyebutan Madrasah dalam batang tubuh-nya dan hanya menyebutkannya dalam penjelasan.

“Awalnya ada wacana yang terbaca dari draft RUU Sisdiknas dari Kemendikbudristek yang menghapuskan madrasah dari RUU Sisdiknas. Tapi Alhamdulillah dengan adanya kritikan-kritikan publik dan penolakan termasuk dari PKS, wacana itu tidak direlisasikan. Kritik-kritik didengarkan dan sekarang madrasah tetap menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang eksplisit. Tetap disebutkan dalam batang tubuh RUU Sisdiknas, tidak hanya di dalam penjelasan,” tambahnya.

Selain terkait penyebutan semua jenis pesantren, HNW mengatakan ada beberapa poin yang perlu diperhatikan Kemendikbud karena menjadi catatan dan kritikan publik. “Misalnya, terkait hilangnya tunjangan profesi guru dan dosen serta tunjangan lainnya di dalam RUU Sisdiknas. Seharusnya tunjangan guru itu dieksplisitkan dan ditingkatkan, bukan malah dihapuskan, atau dibuat abu-abu,” ujarnya.

Hidayat juga memahami penjelasan dari Kemendikbudristek yang mengatakan penghapusan tunjangan-tunjangan itu akan diiringi dengan janji untuk memberikan penghasilan yang layak kepada guru secara langsung. Namun, hal itu baru sebatas ‘janji’, sehingga wajar apabila ada kekhawatiran bila janji itu tidak terealisasi.

“Jadi, lebih baik secara eksplisit dan definitif ditegaskan saja di dalam RUU, bahwa konsep yang ada tidak untuk menghilangkan tunjangan tersebut, dan tidak untuk merugikan kesejahteraan guru,” ujarnya.

Ada juga banyak kritikan publik terhadap RUU Sisdiknas ini, seperti kurikulum yang dinilai belum bisa menjawab tantangan ke depan, isu berkaitan dengan komersialisasi pendidikan yang bisa berujung kepada korupsi seperti di kasus Unila, dan hal-hal lainnya yang perlu disusun dan dibahas secara hati-hati dan seksama.

 

FOLLOW US