• News

Awas! "Stunting Learner" Hantui Pendidikan Indonesia, Ini Saran Eks Mendikbud

Asrul | Rabu, 25/08/2021 15:02 WIB
Awas! "Stunting Learner" Hantui Pendidikan Indonesia, Ini Saran Eks Mendikbud Mantan Mendikbud, Mohammad Nuh (Foto: Muti/Jurnas.com)

Jakarta, katakini.com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) era Kabinet Indonesia Jilid II, Prof. Mohammad Nuh meminta pemerintah mewaspadai fenomena stunting learner, yang diakibatkan oleh kesenjangan digital selama pembelajaran jarak jauh (PJJ).

Dia mengatakan teknologi digital memang sudah banyak digunakan untuk kegiatan belajar mengajar di era pandemi Covid-19. Tapi tak jarang, teknologi digunakan sekadarnya saja. Cara para pendidik mengajar lewat aplikasi video-conference tak jauh berbeda dengan cara mereka sebelumnya mengajar di depan papan tulis.

Oleh karenanya, Nuh berharap teknologi dimanfaatkan untuk mitigasi dunia pendidikan secara besar-besaran sebagai enabler (pembuka akses) dan disruptor (perombakan) dalam mendidik. Tidak hanya sebagai alat.

"Ketika teknologi hanya kita jadikan alat untuk melewati pandemi, maka hasilnya akan seadanya saja. Pokoknya sekolah tetap jalan saja. Dan dampaknya, akan ada losses in learning (ilmu tidak terserap)," ungkap Nuh didampingi oleh Prof. Suprapto (Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Jawa Timur) dan Sugianto Halim MMT (CEO SEVIMA) pada Selasa (24/8) kemarin.

Untuk mencegah hal ini, Nuh memberikan setidaknya empat tips bagaimana teknologi bisa memitigasi dunia pendidikan secara besar-besaran. Pertama, filosofi dalam memanfaatkan teknologi dalam pendidikan harus disepakati secara jelas dan tegas, yaitu semangat untuk memenuhi janji kemerdekaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ketika landasan filosofi dalam pemanfaatan teknologi sudah matang, maka selanjutnya adalah menata pola pikir. Tips kedua adalah memastikan tujuan memanfaatkan teknologi dalam pendidikan adalah untuk mendidik anak-anak bangsa dalam menghadapi tantangan di masa depan. Utamanya, tantangan di momen 100 tahun kemerdekaan nanti pada 2045.

Sehingga, pendidikan tidak boleh berpola hafalan. Karena, apa yang dipelajari saat ini, belum tentu akan dipakai di masa depan. Yang terpenting ialah mengajarkan kepada peserta didik, belajar caranya belajar.

"Indonesia punya banyak mimpi pada 25 tahun mendatang. Namun Indonesia seakan memiliki miopi atau rabun jauh. Kita mendidik dengan ilmu dan cara hari ini, padahal yang penting adalah learning how to learn (belajar caranya belajar), agar 2045 jauh disana kita bisa jangkau, dan pelajar kita jadi pembelajar sepanjang hayat," jelasnya.

Ketiga, memahami bahwa Indonesia memiliki tantangan sekaligus peluangnya tersendiri. Sebagai negara kepulauan dengan keberagaman sosio-ekonomi yang begitu luas, memang masalah berupa konektivitas internet, akses, maupun pemahaman dan kemampuan mengoperasikan teknologi digital, merupakan kesenjangan (digital divide) yang tak bisa dinafikan.

Akan tetapi, Indonesia memiliki dua modal utama, yaitu: demographic dividend di mana 64 persen dari total populasi Indonesia ada di usia produktif, dan digital dividend yakni usia produktif yang masih rajin belajar dan bekerja ini ketika diberi akses kepada teknologi informasi, maka dapat secara kreatif mengatasi sejumlah permasalahan pendidikan di tanah air.

Jaringan internet Palapa Ring, yang dirintis di era kepemimpinan Nuh sebagai Menkominfo, adalah salah satu bukti dari kreatifitas masyarakat. Ketika akses internet sudah ada di pelosok, maka masyarakat dengan sendirinya akan memanfaatkan fasilitas tersebut. Misalnya untuk mengakses pengetahuan maupun berjualan secara online.

"Rasio usia produktif di atas 64 persen, ditambah dengan kreativitas bangsa, keduanya menjadi modal sangat penting sebagai bekal menuju Indonesia emas pada 25 tahun mendatang. Oleh karena itu, pendidikan kita jadikan cara membuka akses, mengeksplorasi keberagaman. Karena kekuatan sebenarnya ada di tangan kita sebagai masyarakat, The Power of We," ujar Nuh.

Keempat, teknologi digital perlu ditransformasi menjadi digital lifestyle. Yang dimaksud digital lifestyle, adalah gaya dalam mengajar dan mendidik perlu berangkat dari kebiasaan di dunia digital.

Sederhananya saja, sistem pembelajaran digital tidak memerlukan tatap muka di waktu pembelajaran. Ketika materi pembelajaran sudah ada dalam bentuk video, maka belajar bisa kapan saja, di mana saja.

"Ini perlu perubahan mindset. Belajar dari rumah secara hybrid, bukan belajar di rumah dengan cara memindahkan papan tulis dan klasikal kelasnya saja ke dalam aplikasi. Dan perubahan ini harus kita lakukan sangat cepat, karena kedepan kebutuhan skill juga makin kompleks," lanjut Nuh.

Sejalan Nuh, Prof. Suprapto selaku Kepala Lembaga Pelayanan Pendidikan Tinggi juga menekankan bahwa pemerintah secara berkelanjutan terus memfasilitasi upaya pengembangan pendidikan digital. Misalnya lewat hibah penelitian, program kampus merdeka, dan pertukaran industri dengan dunia pendidikan.

"Sayangnya, dana penelitian kita ini, walau dibilang cukup kecil dibanding negara lain, tetap tidak pernah terserap habis. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama, bahwa potensi untuk pengembangan terbuka lebar," kata Prapto.

Disambung oleh Sugianto Halim MMT selaku CEO SEVIMA, pembangunan lifestyle digital ini dapat dilakukan mulai dari cara-cara yang sederhana.

Misalnya, civitas akademika yang tergabung dalam Komunitas SEVIMA saat ini telah menggunakan sistem pembelajaran Edlink yang memberi ruang bagi pembelajaran secara asynchronous (tunda). Dosen cukup mengunggah video di sistem tersebut, lalu para mahasiswa dapat menyimak dan mengerjakan kuis kapan saja. Sistem pembelajaran ini juga dihadirkan secara terintegrasi dengan sistem akademik berbasis komputasi awan (SiakadCloud), sistem pelaporan, dan beragam kebutuhan akademik lainnya.

"Pemanfaatan sistem ini dapat kita lakukan secara gotong royong, karena sistem ini juga tersedia dalam versi komunitas dan bisa diunduh secara gratis oleh perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Yang paling penting saat ini, adalah komitmen kita untuk menggunakan dan menyongsong kemajuan teknologi," tutup Halim.

FOLLOW US