• News

Dinasti Politik di Indonesia Cenderung Destruktif, Ini Faktornya

Yahya Sukamdani | Selasa, 28/07/2020 18:53 WIB
Dinasti Politik di Indonesia Cenderung Destruktif, Ini Faktornya Direktur Ekesekutif Perludem, Titi Anggraini.

Katakini.com - Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menilai politik kekerabatan atau politik dinasti di Indonesia cenderung destruktif atau merusak.

“Setidaknya ada empat faktor yang berkontribusi kepada politik kekerabatan yang destruktif ini,” kata Titi dalam diskusi Dialektika Demokrasi Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) di Media Center Parlemen, Selasa (28/7/2020).

Pertama, adalah kaidah hukum yang memungkinkan politik dinasti itu terjadi. Akses  kepada pencalonan sangat terbatas, hanya bisa dimiliki oleh partai-partai yang punya daya dukung besar. Adanya ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah 20% kursi atau 25% suara sah, itu  berkontribusi , bagi akses yang limitatif di dalam proses pencalonan Pilkada.

Kedua,  calon alternatif sulit muncul . Calon perseorangan sebenarnya fasilitasi bagi warga negara yang merasa aspirasi politiknya tidak bisa diwadahi oleh partai politik. Tetapi dari Pilkada ke Pilkada,  calon perseorangan makin dibuat sulit untuk maju dengan keharusan mendapatkan dukungan 6,5% hingga 10% dari masyarakat.

“Jadi akhirnya akses politik itu makin terbatas hanya untuk orang-orang dan kelompok tertentu saja,” kata Titi.

Berikutnya yang  juga berkontribusi pada politik dinasti adalah proses rekrutmen yang diatur di dalam Undang-Undang pilkada yang makin sentralistik.  Contohnya,  partai politik di daerah sudah melakukan rekrutmen,  tetapi kemudian keputusannya diambil alih dan dibatalkan oleh kantor pusat, DPP.

“Ironisnya, tata kelola pemerintahan sudah desentralisasi,  tapi partai politiknya semakin sentralistik,” katanya.

Selanjutnya kelembagaan partai politik juga ikut menyumbang kehadiran politik kekerabatan  karena tata kelola internal partai yang belum demokratis. Rekrutmen masih sangat elitis,  yang memutuskan itu hanya segelintir orang saja di partai politik.

Ada memang partai yang menerapkan pemilihan internal,  misalnya PKS. Tetapi kebanyakan partai lain ketika proses nominasi itu yang memutuskan hanya segelintir elit.

Akhirnya kompetisi yang berbasis kaderisasi dan berbasis rekrutmen politik yang demokratis tidak muncul.

“Jadi ada kontribusi dari kaidah hukum atau regulasi pemilihan kita yang memang seolah-olah memberi karpet merah bagi hadirnya politik dinasti,” ujar Titi.

Politik biaya tinggi juga ikut mengkontribusikan kehadiran politik dinasti.  Pilkada berbiaya mahal karena masih ada saluran-saluran yang ilegal, seperti mahar politik,  dana kampanye yang nyaris tidak ada batasan yang  akhirnya memicu orang untuk mengeluarkan uang sebanyak mungkin untuk memenangi kontestasi.

Kontibusi yang terakhir, memang kesadaran masyarakat untuk mengevaluasi politik dinasti masih rendah karena pendidikan pemilih dan pendidikan politik tidak berjalan secara optimal.

Akses informasi masyarakat juga rata-rata kurang baik di dalam mengenali siapa calonnya. Mereka kenal calon hanya itu-itu saja.

“Maka, ke depan, regulasi Pilkada harus dibenahi. Pastikan tersedianya calon yang beragam  karena kalau calonnya beragam,  maka pilihan-pilihan itu lebih mungkin untuk dapat diperoleh oleh masyarakat,” kata Titi.

Kemudian ambang batas pencalonan harus 0% karena sistem presidensial semestinya pencalonan eksekutif tidak bergantung pada kekuatan parlemen. Tetapi untuk membuat koalisi  yang kuat maka pemilihannya bisa digabungkan dengan pemilihan DPRD.

Kelembagaan partai harus lebih demokratis,  pembiayaan dari negara harus diperkuat , rekrutmen politik tidak boleh hanya ditentukan oleh elit. Harus ada mekanisme rekrutmen misalnya pemilihan internal partai, yang melibatkan anggota ataupun pengurus,  sehingga rekrutmen itu tidak hanya ditentukan oleh segelintir orang.

“Termasuk yang paling penting adalah penegakan hukum yang tegas atas praktik transaksional yang ilegal, jual beli kursi,  tiket pencalonan mahar politik, politik uang dan lain sebagainya,” ujar Titi.

FOLLOW US