• Bisnis

Dua Tahun, OJK Hentikan 2,591 Fintech Ilegal

Budi Wiryawan | Selasa, 14/07/2020 05:05 WIB
Dua Tahun, OJK Hentikan 2,591 Fintech Ilegal Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Katakini.com - Teknologi finansial (tekfin/fintech) masih ditemukan adanya perusahaan berstatus ilegal. Namun, itu tidak mengurangi nilai pihak investor untuk menanamkan modal.

Paparan Satuan Tugas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang disampaikan via video daring sepanjang semester I/2020 telah ditemukan dan dihentikan sebanyak 694 perusahaan tekfin peer-to-peer (P2P) di Indonesia.

Angka tersebut termasuk tinggi. Pasalnya, jumlah tekfin ilegal yang ditemukan Satgas Waspada Investasi pada semester I/2020 nyaris separuh dari jumlah total tekfin ilegal periode yang sama tahun sebelumnya. OJK menemukan total 1.493 perusahaan tekfin ilegal sepanjang 2019.

"Sepanjang 2018-2020 Satgas telah menghentikan kegiatan 2.591 fintech P2P lending tanpa izin OJK," Ketua Satgas Waspada Investasi OJK Tongam L. Tobing Senin (13/7/2020).

Sebagai informasi, perusahaan tekfin tak berizin tersebut memiliki server yang berlokasi di 21 negara, termasuk Indonesia. Amerika Serikat memiliki jumlah server tekfin ilegal sejumlah 170 server, Singapura 94 server, China 70 server, dan Malaysia 22 server.

Satgas Waspada Investasi telah mengambil langkah tindakan untuk mengatasi masalah itu, baik preventif maupun represif. Carany dengan membatasi ruang gerak transaksi keuangan sektor perbankan dan payment system, misalnya memblokir situs dan aplikasi, serta melaporkan tekfin ilegal kepada pihak berwajib.

Tongam menjelaskan terdapat dua hal yang menjadi penyebab utama maraknya perusahaan tekfin P2P lending di Tanah Air. Pertama, mudahnya membuat situs, web, ataupun aplikasi.

"Kedua, tingkat literasi masyarakat yang masih rendah atau kesulitan keuangan," jelasnya.

Selama ini, dia menuturkan permasalahan penanganan yang ditemukan oleh Satgas Waspada Investasi di antaranya pelaku yang membentuk komunitas ilegal dan memanfaatkan kekosongan hukum.

Hasilnya, korban kerap melaporkan ke media sosial tapi enggan melaporkan ke pihak kepolisian karena belum adanya undang-undang yang mengatur administrasi dan biaya perkara yang tidak sebanding dengan jumlah kerugian.

"Kerugian-kerugian yang ditimbulkan, misalnya potensi tidak adanya penerimaan negara, tidak jelasnya data riil jumlah peminjam, hingga dugaan pencucian uang," jelasnya.

FOLLOW US