Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharunya bertugas sesuai dengan Undang-Undang (UU), yang kerjanya mencegah, supervisi, koordinasi, dan monitoring. Sehingga, KPK bertindak dengan menggunakan akal alias otak bukan otot.
Demikian disampaikan Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (16/9). Menurutnya, UU Nomor 30 Tahun 2002 memerintahkan KPK sebagai dokter transisi yang kerjanya mencegah, supervisi, koordinasi, dan monitoring.
"Undang-undang ini sebagai dokter transisi, kerjanya itu mencegah, supervisi, koordinasi, monitoring. Cuma ini perlu pake otak, yang mengoperate KPK sekarang ini kan kurang berpikirnya, penyidik-penyidik yang main otot saja kerjanya. Itulah yang merusak KPK," kata Fahri.
Hal itu, kata Fahri, dapat dilihat selama 17 tahun KPK berdiri masalah justru bertambah banyak. Dimana, kasus tindak kejahatan korupsi yang ditangani KPK bukan berkurang, malah semakin marak.
"Dikasih waktu 17 tahun masalah tambah banyak. Itu kaya rumah sakit, kalau pasiennya itu tambah sedikit artinya bagus, ya kan. Tapi karena motif dagang, lebih banyak pasien dianggap lebih bagus, ya salah dong," tegasnya.
Semestinya, lanjut Fahri, KPK bekerja seperti dokter. Dimana, jika pasien yang datang semakin sedikit, maka dokter tersebut bisa dibilang berhasil. Pun demikian dengan KPK, jika pemberantasan korupsi di tanah air semakin bertambah, maka kinerja lembaga adhoc tersebut patut dipertanyakan.
"Nggak benar dong kalau dokternya itu ngasih nasihat atau ngasih obat yang orang itu nggak sembuh-sembuh, lalu datang terus. Makin banyak yang datang, dokternya tambah duit. 17 tahun UU ini harusnya udah nggak ada korupsi," kata Fahri.