JAKARTA - Anggota Komisi XIII DPR RI Mafirion menyoroti sejumlah permasalahan krusial dalam pelaksanaan anggaran dan pelayanan publik di lingkungan Kementerian Hukum, Kementerian HAM dan Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, khususnya di wilayah Kalimantan Timur.
Sorotan ini disampaikan dalam rapat kunjungan kerja reses antara Komisi XIII DPR dan jajaran Kantor Wilayah ketiga kementerian tersebut serta Pemerintah Daerah, yang digelar di Balikpapan, Jumat (25/7/2025).
Dalam kesempatan itu, Mafirion menyampaikan keprihatinan terhadap masih rendahnya alokasi anggaran untuk program bantuan hukum serta ketimpangan anggaran antar-unit kerja Kemenkumham. Ia menyoroti adanya blokir anggaran senilai Rp1,6 miliar yang seharusnya digunakan untuk memperkuat program Pos Bantuan Hukum (Posbakum).
“Sementara di wilayah itu uangnya cuma Rp900 juta, kecil. Kalau kita anggap penting, harus kita beri porsi besar. Kalau tidak penting, lebih baik dibubarkan,” ujar Mafirion dalam keterangan tertulis dikutip pada Minggu (27/7).
Mafirion menekankan bahwa pelaksanaan HAM dan pemahaman terhadap hukum harus diperkuat hingga ke daerah terpencil. Menurutnya, Posbakum adalah instrumen vital dalam meningkatkan kesadaran hukum masyarakat, terutama dalam menghadapi ketimpangan informasi dan minimnya akses terhadap pendampingan hukum.
Mafirion menyebut bahwa pemerintah menargetkan jumlah Posbakum bertambah dari sekitar 1.000 unit menjadi 7.000 unit pada akhir 2025. Namun, ia mengingatkan agar peningkatan jumlah tersebut diikuti oleh dampak nyata terhadap penyelesaian persoalan hukum masyarakat.
“Jangan sampai makin banyak Posbakum, tapi persoalan hukum makin tidak tertangani. Harus ada hasil signifikan,” kata dia.
Ia juga mendorong peningkatan jumlah dan kapasitas paralegal agar bisa menjangkau masyarakat secara lebih luas, termasuk melalui pendekatan edukatif dan penyuluhan hukum.
Dalam rapat tersebut, Mafirion turut menyoroti ketimpangan anggaran antara unit-unit Kemenkumham. Ia menyebut bahwa Kanwil Hukum bisa memiliki anggaran hingga Rp30 miliar, sementara Kanwil Pemasyarakatan dan Imigrasi hanya menerima sekitar Rp2–3 miliar, meski memiliki tugas yang tak kalah berat.
“Kantor Imigrasi Kalimantan Timur menghasilkan lebih dari Rp100 miliar dari PNBP, tapi anggarannya cuma Rp2 miliar. Ini tidak seimbang,” tegasnya.
Data menyebutkan bahwa sepanjang 2024, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari layanan keimigrasian mencapai lebih dari Rp2,5 triliun secara nasional. Namun, distribusi anggaran operasional di tingkat daerah masih menghadapi tantangan struktural.
Isu kesejahteraan Aparatur Sipil Negara (ASN) juga disinggung. Mafirion menyayangkan kondisi ASN di wilayah perbatasan yang minim perlindungan, tidak memiliki asuransi, serta harus menanggung biaya hidup secara mandiri di lokasi tugas.
“Keselamatan juga penting. Jangan sampai SDM di masa depan rusak karena tidak dijaga kesejahteraannya,” ucap Mafirion.
Ia juga mengingatkan soal persoalan klasik di lembaga pemasyarakatan, seperti overkapasitas, penyelundupan telepon genggam, hingga narkotika. Mafirion menyarankan agar tindakan penertiban dilakukan secara diam-diam agar tidak menjadi polemik di media.
“Kalau operasi, jangan diumbar. Nanti ditanya, handphone masuk dari mana? Operasi senyap saja,” ujarnya.