• Info MPR

HNW: Pesantren Perlu Cerahkan Politik Agar Demokrasi Lebih Bermartabat

Agus Mughni Muttaqin | Rabu, 08/11/2023 11:15 WIB
HNW: Pesantren Perlu Cerahkan Politik Agar Demokrasi Lebih Bermartabat Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW). (Foto: Humas MPR)

BOGOR - Sekitar 15.000 santri pada Selasa, 7 November 2023, memenuhi Masjid Thoha, Parung, Jawa Barat. Pada hari itu di masjid yang berada di Komplek Yayasan Al Ashriyyah Pondok Pesantren Nurul Iman Islamic Boarding School digelar Seminar Nasional.
 
Seminar yang bertema politik identitas dan partai politik, diselenggarakan oleh pondok pesantren yang beralamat di Parung, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu mengundang Wakil Ketua MPR Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid (HNW) sebagai keynote speech.
 
Bagi HNW datang ke Nurul Iman bukan kali pertama. Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada 2007, saat menjabat sebagai Ketua MPR itu, sudah pernah bersilaturrahmi ke pondok pesantren yang menggratiskan semua santrinya yang berasal dari seluruh daerah di Indonesia.
    
Sebagai tamu yang tak asing lagi, kehadiran HNW langsung disambut oleh Pimpinan Yayasan Al-Ashriyyah Dr. (Can) Habib Muhammad Waliyullah, Pembina Yayasan Al-Ashriyyah Dr. Hj. Umi Waheeda Binti H. Abdurrahman, dan Bendahara Yayasan Al Ashriyyah Habib Hasan Ayatullah.
 
Di hadapan peserta seminar, HNW mengatakan sudah semestinya pondok pesantren melanjutkan peran mensejarah, membuka diri, berkolaborasi membangun umat dan negeri, sehingga tidak anti politik, bahkan bisa mencerahkan demokrasi.

Keterlibatan pondok pesantren dalam urusan politik disebut akan membawa demokrasi bangsa Indonesia menjadi lebih beridentitas yang bermanfaat dan bermartabat, melalui visi dan misi pesantren yg hadirkan Islam rahmatan lil alamin.
 
Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) tahun 1978 itu menekankan hal yang demikian sebab dalam ajaran agama Islam, yang dipelajari di pesantren-pesantren, mengurusi rakyat atau masalah publik, termasuk kategori masalah yang sangat dipentingkan.
 
Dicontohkan dalam kitab karya Imam Al Mawardi, dikatakan sesuatu hal yang mengurusi masalah rakyat adalah bagian dari urusan agama di mana hal demikian sangat dipentingkan.

Lebih lanjut dicontohkan, Rasulullah pernah mengatakan kalau ada tiga orang yang hendak melakukan perjalanan maka satu di antara tiga orang itu harus dijadikan pemimpin.  

“Bepergian saja harus ada pemimpin apalagi dalam perjalanan mengurus bangsa dan negara yang melibatkan ratusan juta warga dan memiliki tujuan jangka panjang,” ujar Ketua Badan Wakaf PMDG itu.
 
Dikatakan, bangsa ini memiliki 270 juta penduduk. Penduduk sebanyak itu pastinya membutuhkan seorang pemimpin. Dalam soal memilih pemimpin, pesantren mengajarkan hazanah ilmu dan praktek yang baik benar dan panjang.

Karenanya, HNW mengingatkan agar masyarakat pesantren mengamalkan ilmu yg dipelajari di pesantren untuk berkontribusi mencerdaskan masyarakat, sehingga mereka berpartisipasi sukseskan kegiatan berdemokrasi yang bisa membangun negeri dengan hanya memilih calon pemimpin dan wakil mereka di parlemen yang memiliki identitas yang benar, dan track record lulus dari ujian hadirkan kepedulian bagi umat dan rakyat.
 
Alumni Universitas Madinah, Arab Saudi, itu menjelaskan dahulu ketika bangsa ini memperjuangkan kemerdekaannya, para kiai, ulama, dan santri ikut berjuang dan meneriakkan Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Merdeka. “Itulah identitas kita,” ujarnya.
 
Tanpa identitas itu menurut HNW bagaimana bisa para Kiai mengajak santri dan umat Islam lainnya berjihad membebaskan Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda. Dalam babak sejarah lainnya, para ulama menyepakati dasar negara adalah Pancasila. Dan melalui tokoh Partai Islam Masyumi; M Natsir, Indonesia juga kembali menjadi NKRI.

Dalam Sila I Pancasila disebut Ketuhanan yang Maha Esa. “Itu juga identitas yang menegaskan bangsa Indonesia adalah bangsa yang beragama/bertuhan bukan bangsa komunis, ateis, liberalis,” ujarnya.

Dari sinilah HNW berpendapat kalau tidak boleh memakai politik identitas yang benar, apa berarti tidak boleh menggunakan Pancasila dan NKRI sebagai identitas politik. Ditegaskan politik identitas kita yakni Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
 
Dari paparan di atas, dirinya menyebut partai beridentitas Islam adalah sah baik secara sejarah maupun legal secara aturan konstitusi/hukum. “Beda dengan komunisme, atheisme, separatisme, dan LGBT, yang jelas-jelas tidak sesuai dengan Pancasila dan Konstitusi,” ujarnya.
 
Partai politik yang beridentitas maka ia akan menghadirkan sikap cinta bangsa, rahmatan nil alamin, melakukan edukasi politik, menyerap aspirasi rakyat, yang kemudian memperjuangkan di DPR. “Dari sinilah banyak hal yang bisa diperjuangkan oleh partai politik untuk umat dan Indonesia yang kita cita-citakan. Hal ini juga yang perlu terus dikaji, dikembangkan dan disukseskan oleh dunia pesantren,” ujarnya.
 
Pria asal Klaten, Jawa Tengah, itu merasa ada upaya untuk menjauhkan umat dengan identitas-identitas di atas sehingga politik yang ada jauh dari tata krama, menghalalkan segala cara, dan bukan dari ibadah.

"Padahal politik yang beridentitas baik dan benar, akan membawa umat dan rakyat pada suasana politik yang luber jurdil, tidak menyebar fitnah, anti hoax. Sehingga hasilnya akan membawa kepada realisasi tujuan Proklamasi dan Reformasi,” ujarnya.

FOLLOW US