DENPASAR - Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengingatkan, ekskalasi penyebaran hoaks dalam kehidupan sosial masyarakat harus segera dicegah, demi keberlangsungan proses pembangunan nasional yang lebih demokratis.
"Tak bisa dipungkiri menjelang tahun politik banyak informasi salah yang menggiring opini publik demi tujuan yang diinginkan kelompok tertentu," kata Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema Mengantisipasi Hoaks di Tahun Pemilu yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (24/5).
Lestari melanjutkan, presidium Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) mengungkapkan sejak awal 2023, mereka mendeteksi ada kenaikan jumlah hoaks politik, yakni ada 664 hoaks pada triwulan I 2023. Angka itu berarti kenaikan 24% dari periode yang sama tahun lalu.
Menurut Lestari, indikasi maraknya informasi yang tidak benar atau hoaks jelang pemilu harus dihadapi dengan serius oleh para pemangku kebijakan dan masyarakat di negeri ini.
Apalagi, ujar Rerie sapaan akrab Lestari, saat ini kemajuan teknologi informasi tidak dibarengi dengan literasi yang mampu mengimbangi perkembangan teknologi yang terjadi.
Menjelang tahun pemilu, menurut Rerie, selalu menjadi ajang penyebaran propaganda dari kelompok tertentu demi kepentingan kelompoknya.
Rerie menilai, propaganda merupakan fenomena yang sudah ada sejak masa lalu, bahkan pada Babad Tanah Jawa yang baru terjadi pembelokan sejarah.
Menjelang pemilu, tambah Rerie, penyebaran propaganda serupa juga terjadi dengan dukungan teknologi informasi yang lebih maju.
Rerie sangat berharap segenap anak bangsa mampu mengedepankan semangat memperkokoh persatuan dan kesatuan agar transisi demokrasi melalui pemilu di negeri ini bisa berjalan dengan suasana sejuk dan damai.
Hal senada disampaikan Direktur Jenderal Informasi & Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Usman Kansong. Ia menilai, disinformasi politik menyebabkan menurunnya praktik demokrasi di Indonesia.
Diakui Usman menjelang pemilu disinformasi politik cenderung meningkat, seperti yang terjadi pada Pemilu 2019.
Untuk mengatasi hal itu, Usman mengungkapkan, pihaknya melakukan langkah-langkah preventif, korektif hingga represif.
Langkah preventif, tambah dia, dilakukan dalam bentuk upaya meningkatkan literasi digital masyarakat dan mengajak masyarakat untuk kritis terhadap informasi di media sosial sebelum disebar. Pada 2023, ungkap dia, pemerintah menargetkan peningkatan literasi digital terhadap 25 juta masyarakat.
Pada langkah korektif, tambah Usman, pihaknya memakai teknologi AI untuk menjaring konten-konten negatif di media sosial. Selain itu juga patroli siber untuk mengawasi medsos 24 jam untuk mengidentifikasi hoaks.
Sedangkan pada mekanisme represif, tambah Usman, melibatkan para praktisi hukum untuk menyikapi konten-konten hoaks yang ditemukan.
"Perlu kolaborasi semua pihak untuk perang besar melawan hoaks politik sehingga kita bisa menjaga kualitas demokrasi kita," ujar Usman.
Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik dan Dosen Komunikasi Universitas Airlangga, Suko Widodo berpendapat hoaks saat ini tidak lagi diutarakan dengan kata-kata yang bisa ditengarai dengan jelas, tetapi kerap dengan kata-kata halus tetapi mendalam.
Suko mendorong agar pemerintah mengoptimalkan pemberantasan hoaks dengan cara-cara melibatkan masyarakat, terutama generasi muda.
Karena, menurut Suko, para pembuat hoaks itu terkoordinir. Sehingga tidak cukup dengan mengungkap fakta bahwa konten itu adalah hoaks, tetapi juga harus konsisten memproduksi konten-konten antihoaks.
"Kampanye besar-besaran untuk melawan hoaks secara masif harus dilakukan, sehingga masyarakat menjadi kritis terhadap setiap informasi yang diterimanya," ujar Suko.
Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengungkapkan ada sejumlah bentuk gangguan hak para pemilih dalam proses pemilu antara lain dalam bentuk diskriminasi dalam regulasi, intimidasi dan penolakan hak pilih, serta pengacauan informasi pemilu.
Menurut Titi, pemilu yang demokratis tidak bisa diwujudkan bila pemilih tidak bisa memahami atas pilihan-pilihan yang dibuat, karena sejumlah gangguan terhadap hak pilihnya.
Titi menilai, hoaks politik merupakan kampanye jahat. Hoaks yang menyasar para pemilih dalam proses pemilu bisa berdampak ke banyak sektor, sehingga bisa merugikan negara.
Dalam kasus diskriminasi regulasi pada para pemilih, jelas Titi, bisa berdampak pemilihan ulang akibat terjadi inkonsistensi dalam penerapan aturan, yang mengakibatkan munculnya kerugian negara.
Pada kesempatan itu, Titi mengungkapkan sejumlah tantangan yang akan dihadapi pada penyelenggaraan Pemilu 2024, antara lain yaitu masa kampanye yang hanya 75 hari, belum ada regulasi untuk menyikapi disinformasi yang terjadi, dan netralitas aparat penegak hukum.
Karena itu, tegas dia, dibutuhkan penyelenggara pemilu yang kredibel, mandiri dan terbuka, sehingga mampu memproduksi aturan teknis yang jelas agar mampu menekan dampak disinformasi yang terjadi.