• News

1 Maret Hari Penegakan Kedaulatan Negara, Peringati Serangan Umum 1 Maret 1949

Tri Umardini | Rabu, 01/03/2023 07:30 WIB
1 Maret Hari Penegakan Kedaulatan Negara, Peringati Serangan Umum 1 Maret 1949 1 Maret Hari Penegakan Kedaulatan Negara, Peringati Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. (FOTO: HO/HUGO WILMAR)

JAKARTA - Hari Penegakan Kedaulatan Negara merupakan hari untuk memperingati peristiwa Serangan umum 1 Maret 1949 yang digagas oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Yogyakarta.

Serangan tersebut dilakukan oleh Panglima Besar Jendral Soedirman serta disetujui oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Selain itu, laskar-laskar perjuangan rakyat dan segenap komponen bangsa Indonesia lainnya juga mendukung peristiwa tersebut.

Pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret bangsa Indonesia mampu menegakkan kembali eksistensi dan kedaulatan Negara Indonesia di dunia Internasional.

Karena pada peristiwa tersebut, upaya kedaulatan Indonesia mendapatkan perlawanan dari Belanda dengan melakukan agresi militer dan propaganda politik.

Tujuan 1 Maret Jadi Hari Penegakan Kedaulatan Negara

Mengenai tujuan 1 Maret dijadikan Hari Penegakan Kedaulatan Negara, Presiden Jokowi menyebutkan, hal itu dalam rangka menanamkan kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa.

Di samping juga guna memperkuat kepribadian dan harga diri bangsa yang pantang menyerah, patriotik, rela berkorban, berjiwa nasional, dan berwawasan kebangsaan.

"Menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Kedaulatan Negara," bunyi Keppres 2/2022 di laman resmi Kementerian Informasi, Kamis (24/2/2022).

"Serta memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional, perlu menetapkan tanggal 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara,” tegas Presiden dalam Keppres 2/2022.

Usulan Sri Sultan Hamengku Buwono X Sebelumnya Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono x (HB X) mengusulkan 1 Maret ditetapkan sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara.

Usulan tersebut dibicarakan ketika bertemu dengan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Pemerintah DIY sebelumnya mengajukan usulan tersebut sejak 2018 melalui surat bernomor 934/14984 kepada Presiden Joko Widodo.

Sultan menjelaskan bahwa Serangan Umum 1 Maret 1949 bukan sekedar peristiwa lokal yang terjadi di Yogyakarta, akan tetapi merupakan peristiwa nasional.

Pada peristiwa tersebut Indonesia sedang mempertahankan kedaulatan terhadap agresi militer dari Belanda. "Karena jadi momentum penegakan kedaulatan bangsa terhadap agresi militer Belanda," kata HB X di Gedhong Pracimasono, Kompleks Kepatihan, Kota Yogyakarta.

Peringatan 1 Maret sebelumnya telah diperingati oleh masyarakat Yogyakarta setiap tahunnya. Serangan Umum 1 Maret 1949 merupakan kejadian yang membuat mata dunia tertuju pada Indonesia.

Peristiwa tersebut menurut Tito juga sebagai bentuk nyata semangat persatuan bangsa Indonesia untuk menegakkan kembali kedaulan negara pascaproklamasi 17 Agustus 1945.

"Melalui serangan tentara Indonesia tersebut, kemerdekaan Indonesia membuktikan bukan sebagai pemberian bangsa lain namun perjuangan anak-anak bangsa," kata Tito.

Sejarah Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949

Dikutip dari berbagai sumber, Serangan Umum yang terjadi pada 1 Maret 1949 mampu memukul mundur tentara Belanda dari Yogyakarta dalam enam jam.

Serangan penjajah Belanda melalui Agresi Militer II membuat kondisi Indonesia dalam kesulitan.

Bahkan, sebagai propaganda, Belanda mengumumkan jika TNI sudah tidak ada. Saat itu mulai dari presiden, wakil presiden, dan anggota kabinet tidak mampu berbuat banyak.

Harapan yang tersisa adalah awak militer dari TNI. Di satu sisi, menurut laman Museum Vrederburg, Sri Sultan Hamengku Buwono IX selaku Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mengirimkan surat kepada Jenderal Soedirman agar diadakan serangan.

Oleh Jenderal Sudirman, Sri Sultan HB IX diminta berkomunikasi dengan Letkol Soeharto selaku Komandan Brigade 10/Wehrkreise III.

TNI beserta petingginya memilih tidak menyerah dan melakukan Operasi Gerilnya Rakyat Semesta. Operasi ini terdiri dari berbagai elemen seperti TNI, laskar, dan rakyat bersenjata yang berusaha melakukan serangan balik ke penjajah.

Seperti tertulis dalam laman Kemdikbud, para pasukan menyingkir ke bukit, lembah, dan pelosok. Semua pasukan menunggu instruksi untuk melakukan penyerangan. Sementara para petinggi militer dan pimpinan pemerintahan setempat sepakat mengambil alih kota Yogyakarta pada 1 Maret 1949.

Perang dilakukan secara gerilya pukul 18.00 waktu setempat. Sirene dinyalakan sebagai tanda dilakukannya serangan.

Seketika para pasukan TNI menyerang semua tentara Belanda yang ditemui di setiap sudut kota. Dalam perang yang terbilang singkat selama enam jam, Belanda mampu dilumpuhkan dan mereka meninggalkan pos militer yang ada.

Harta rampasan berupa persenjataan menjadi tambahan logistik untuk TNI. Lalu, pasukan TNI diminta mengosongkan Yogyakarta menuju pangkalan gerilnya tepat pada pukul 12.00 siang keesokan harinya.

Serangan umum 1 Maret 1949 membawa arti penting bagi posisi Indonesia di mata internasional. Selain membuktikan eksistensi TNI yang masih kuat, Indonesia memiliki posisi tawar melalui perundingan di Dewan Keamanan PBB.

Perlawanan singkat tersebut turut mempermalukan Belanda dengan propagandanya. Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949 Meski Serangan Umum 1 Maret 1949 berhasil memukul Belanda dari Kota Yogyakarta saat itu, tetapi ada kontroversi seputar peran Letkol Soeharto.

Salah satu fragmen yang disoroti adalah sewaktu peperangan sedang terjadi. Yang mana, dalam buku sejarah era Orde Baru, Letkol Soeharto tercatat sebagai inisiator dan pemimpin pertempuran. Namun hal ini berkebalikan dengan kesaksian Abdul Latief, anak buah Letkol Soeharto saat itu.

Dalam tulisannya “Laporan tentang Dewan Jenderal kepada Jenderal Soeharto” yang diunggah pada laman penerbit HastaMitra, mengatakan jika Soeharto sedang bersantai makan soto babat bersama pengawal dan ajudannya.

Latief bertemu Soeharto dengan pasukannya yang tidak lebih dari 10 orang. Saat itu, Kapten Abdul Latief dan pasukan yang tersisa dalam posisi kepayahan.

Dua anak buahnya meninggal, 12 lainnya terluka. Sementara itu terdapat 50 pemuda laskar gerilya yang juga gugur di medan perang dan dimakamkan di dekat Stasiun Tugu Yogyakarta. (*)

 

FOLLOW US