• Info MPR

Presidential Threshold, Penyimpangan Dalam Praktek Politik

Akhyar Zein | Minggu, 20/02/2022 19:17 WIB
Presidential Threshold,  Penyimpangan Dalam Praktek Politik Anggota MPR RI Kelompok DPD dapil Bengkulu H. Ahmad Kanedi, saat menjadi narasumber pada Seminar Pustaka Akademik, kerjasama MPR RI dengan Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UNIB) (foto: Humas MPR)

JAKARTA- Anggota MPR RI Kelompok DPD dapil Bengkulu  H. Ahmad Kanedi, SH, MH mengatakan, syarat Presidential Threshold (PT) sebesar 20 % dalam sistem Pemilihan Presiden di Indonesia merupakan sesuatu yang membingungkan. Karena syarat Presidential Thresholdsebesar 20%, itu tidak sesuai dengan perintah konstitusi. Pemakaian PT juga  ditentang sebagian besar ahli tata negara dan kalangan perguruan tinggi. Bahkan, syarat ambang batas calon presiden  juga tidak ditemukan dalam praktek ketatanegaraan, di negara manapun di dunia.

"Saya sudah berkeliling diberbagai kampus, hasilnya tidak ada satupun yang setuju dengan  Presidential Threshold yang dipraktekkan dalam sistem pemilihan presiden di Indonesia," kata Ahmad Kanedi menambahkan.

Pernyataan tersebut disampaikan  Kanedi, saat menjadi narasumber pada Seminar Pustaka Akademik, kerjasama MPR RI dengan  Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (UNIB). Tema yang dibahas dalam seminar, itu adalah  Presidential Threshold Dalam Perspektif Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain Kanedi, seminar juga menghadirkan pembicara Dr. Ardilafisa, SH.,MH., (Pakar Hukum Tata Negara Universitas Bengkulu).

Sebelum seminar, pada acara itu juga dilakukan penandatanganan PKS antara perpustakaan MPR RI dan perpustakaan Fakultas Hukum UNIB. Acara tersebut berlangsung di Fakultas Hukum Universitas Bengkulu, Sabtu (19/2/2022).

Diberbagai kampus yang dikunjungi, kata Kanedi ia kerap mendapat pertanyaan, mengapa ketentuan ambang batas pencalonan presiden, itu masih gunakan. Padahal, ketentuan itu jelas-jelas tidak sesuai dengan amanat konstitusi. Syarat pencalonan  Presiden, sesuai ketentuan konstitusi  adalah warga negara Indonesia, tidak pernah menerima kewarganegaraan negara lain, tidak pernah berkhianat dan tidak melakukan tindak korupsi atau tindak pidana berat lainnya. Selain itu, presiden dan wakilnya, dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.

"Ini adalah penyimpangan yang terjadi dalam praktek politik dan harus kita sadari bersama. Meski menyatakan dirinya sebagai negara hukum, nyatanya belum semua aturan main dalam kehidupan berbangsa dan bernegara  mengikuti aturan hukum yang ada. Sebagian merupakan hasil dari kesepakatan politik oleh para elit partai politik," kata Kanedi menambahkan.

Pernyataan serupa disampaikan pakar Hukum Tatanegara UNIB Dr. Ardilafisa, SH., MH. Menurut Ardilafisa, sepengetahuannya seluruh perguruan tinggi menolak berlakunya Presidential Threshold. Karena keberadaan Presidential Threshold adalah inkonstitusional.

"Mestinya ambang batas itu digunakan untuk menentukan pemenang, jadi besarnya 50% plus satu. Jika dalam pilpres belum ada yang mencapai ambang batas tersebut, maka dilakukan pemilihan kedua. Tetapi, bukan menggunakan ambang batas untuk menentukan calon presiden. Silakan semua calon, ikut dalam kontestasi, pemenangnya adalah dia yang dapat 50% plus satu," kata Ardilafisa menambahkan.

Pada kesempatan itu, Ardilafisa juga menyampaikan kekhawatirannya terkait pemilu serentak yang akan digelar pertama pada 2024. menurutnya, rencana tersebut sangat membahayakan.  Karena pada akhir periode 2024-2029 semua pejabat negara harus meletakkan jabatannya pada waktu yang bersamaan.

"Apa jadinya jika pada saatnya pemilu gagal dilaksanakan, sementara semua pejabat negara  selesai waktu jabatannya. Ini juga harus menjadi pertimbangan. Negara tidak hanya dibahas dari sisi efisiensi saja, sehingga dilakukan pemilu secara serentak," kata Ardilafisa lagi.

FOLLOW US