• News

Desak Kekerasan di Myanmar Diakhiri, Ini Penjelasan PBB!

Asrul | Kamis, 11/11/2021 08:33 WIB
Desak Kekerasan di Myanmar Diakhiri, Ini Penjelasan PBB! Polisi berdiri di jalan selama protes anti-kudeta di Mandalay, Myanmar, pada 3 Maret 2021. (Foto: REUTERS/Stringer)

katakini.com - Dewan Keamanan PBB menyatakan keprihatinan atas meningkatnya kekerasan di seluruh Myanmar. Dalam sebuah pernyataan, yang disetujui 15 anggota, menyerukan diakhirinya segera pertempuran dan bagi militer untuk menahan diri sepenuhnya.

Ada laporan tentang penumpukan senjata berat dan pasukan di negara bagian Chin, menunjukkan serangan tentara yang akan segera terjadi untuk mengusir kelompok milisi yang dibentuk setelah militer menggulingkan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi dalam kudeta pada 1 Februari.

"Anggota Dewan Keamanan menyatakan keprihatinan mendalam atas kekerasan lebih lanjut baru-baru ini di seluruh Myanmar. Mereka menyerukan penghentian segera kekerasan dan untuk memastikan keselamatan warga sipil," kata pernyataan itu pada Rabu (10/11).

Junta Myanmar tidak berkomentar mengenai situasi di Chin, wilayah perbatasan yang bergejolak yang telah menjadi garis depan perlawanan terhadap kekuasaan militer.

Myanmar telah dilumpuhkan oleh protes dan kekerasan sejak kudeta, dengan junta berjuang untuk memerintah dan menghadapi perlawanan bersenjata dari milisi dan pemberontak etnis minoritas yang bersekutu dengan pemerintah bayangan yang disebutnya "teroris".

"Anggota Dewan Keamanan ... mengulangi keprihatinan mendalam mereka pada perkembangan di Myanmar menyusul deklarasi keadaan darurat yang diberlakukan pada 1 Februari dan seruan mereka pada militer untuk menahan diri sepenuhnya," kata pernyataan itu, yang dirancang Inggris.

"Mereka mendorong dilakukannya dialog dan rekonsiliasi sesuai dengan keinginan dan kepentingan rakyat Myanmar," kata pernyataan itu.

Dewan juga menyerukan akses kemanusiaan penuh, aman dan tanpa hambatan ke semua orang yang membutuhkan dan perlindungan, keselamatan dan keamanan personel kemanusiaan dan medis. (Reuters)

FOLLOW US