JAKARTA - Indonesia saat ini rawan kebocoran data pribadi. Kasus-kasus kebocoran ini membuat Indonesia sedang dalam krisis perlindungan data pribadi.
Demikian disampaikan Anggota Komisi I DPR Fraksi PPP, Muhammad Iqbal dalam diskusi bertajuk ”Nasib RUU Perlindungan Data Pribadi” di Gedung Parlemen, Selasa (31/8/2021).
Pada tahun 2020, terjadi kebocoran data sekitar 230 juta data pasien covid-19. Kemudian terjadi kebocoran 91 juta data akun Tokopedia, 13 juta akun buka lapak.
“Kemudian di tahun 2021, terjadi kebocoran 2 juta data nasabah BRI life. Begitu juga data BPJS dan data eHAC yang terjadi hari ini,” kata Iqbal.
Lalu pertanyaaannya, bagaimana kedepannya, agar data-data yang ada suatu perusahaan baik swasta ataupun pemerintah atau lembaga lainnya itu tidak dicuri dan diperjualbelikan karena bahaya.
Karena itulah, katanya, para politisi di Senayan sepakat pembahasan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP) itu harus segera selesai.
“Kita semua di DPR sepakat RUU PDP harus selesai pada masa sidang tahun ini. Persoalan yang masih mengganjal adalah soal pembentukan otoritas perlindungan data,” katanya.
Senada dengan Iqbal, Anggota Komisi I dari Fraksi Nasdem Muhammad Farhan mengatakan, DPR menargetkan UU PDP disahkan dalam tahun ini, akan tetapi soal keberadaan lembaga independen perlindungan data masih dalam perdebatan.
“Perbedaan pendapat kita, apakah otoritas perlindungan data harus ada induknya yang kuat seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang independen di bawah Presiden atau cukup berada di bawah Kementerian Komunikasi dan Informatika,” kata Farhan .
“Kalau kita semua sepakat mau membangun sebuah lembaga independen di bawah Presiden untuk perlindungan data, maka kita akan menuntut komitmen Presiden dan menteri keuangan. Minimal Lembaga itu sekuat KPK secara politik dan sekuat OJK secara anggaran,” ujarnya.