• News

Islamofobia Eksis di Kanada

Akhyar Zein | Selasa, 10/08/2021 11:02 WIB
Islamofobia Eksis di Kanada Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau mengunjungi Masjid Hamilton Mountain pada awal Idul Fitri di Hamilton, Ontario, Kanada 20 Juli 2021. (foto: Reuters/ voaindonesia.com)RS/Nick Iwanyshyn)

Katakini.com,- Awal Juni lalu, serangan kekerasan mengejutkan komunitas Muslim di Kanada. Sebuah keluarga di London, Ontario, menjadi korban kejahatan rasial, atau tepatnya bernuansa agama.

Sebuah mobil dengan sengaja menabrak sebuah keluarga Muslim. Ayah, ibu, dan nenek, dan seorang anak remaja tewas dalam tragedi itu, sementara seorang anak lainnya, yangberusia 9 tahunterkapar akibat terluka parah. Mereka diserang hanya karena mereka jalan-jalan sore sambil mengenakan pakaian tradisional Muslim.

Apa yang menimpa keluarga Kanada keturunan Pakistan ini bukan kejadian pertama yang mengguncang komunitas Muslim Kanada.

Musim panas tahun lalu, sejumlah staf sebuah masjid di Toronto terpaksa memperbaiki jendela kaca tempat ibadah itu untuk kedua kalinya dalam beberapa hari. Beberapa bulan kemudian, seorang pria Muslim berusia 58 tahun ditikam dan dibunuh di luar sebuah masjid lain.

Sebulan kemudian, masjid ketiga menerima ancaman bahwa jemaahnya akan menjadi sasaran penembakan massal.

Apa yang terjadi di Ontario dan Toronto, sebetulnya juga terjadi di berbagai penjuru Kanada, negara yang membanggakan diri dan sangat diuntungkan dari multikulturalisme dan keragamannya.

Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau sendiri mengecam keras tragedi tanggal 6 Juni 2021 itu. Dalam pidatonya, yang menanggapi peristiwa itu, secara gamblang ia mengatakan Islamophobia eksis di Kanada.

Islamofobia itu nyata, rasisme itu nyata. Anda seharusnya tidak menghadapi kebencian seperti itu dalam komunitas Anda, di negara Anda. Kita bisa dan kita akan bertindak. Kita akan memilih cara yang lebih baik ketika seseorang menyakiti salah satu dari kita, ketika seseorang menarget orang tua atau anak atau kakek nenek mana pun. Kita semua harus bersatu dan mengatakan tidak, tidak untuk kebencian dan Islamofobia, tidak untuk teror dan rasisme.”

Rania Lawendy, Direktur Asosiasi Muslim Kanada, organisasi yang membangun masjid Toronto yang dirusak enam kali selama pandemi COVID-19, mengatakan, serangan di London, meski mengerikan, tidak sepenuhnya mengejutkan.

Ia mengatakan sentimen anti-Muslim dan Islamofobia tidak tumbuh dalam semalam di Kanada. Menurutnya, pengabaian dan eskalasi masalah yang disengaja oleh para pemimpin negara itu telah membuat sentimen itu menjadi bagian yang sangat tertanam dalam struktur budaya dan politik negara itu. "Berapa banyak kematian yang harus terjadi sebelum kita terjaga dan menyadari kekeliruan ini?"

Lawendy mengatakan banyak Muslim, termasuk dirinya, menghadapi berbagai bentuk kebencian di Kanada. Orang-orang pernah menyuruhnya meninggalkan Kanada dan pulang ke negara asalnya. Sejumlah lainnya dengan sengaja merenggut jilbabnya. Ia mendengar banyak cerita serupa dari Muslim lain, terutama perempuan.

"Tidak ada motif tersembunyi selain mereka membenci Muslim," katanya. "Kepemimpinan politik kitalah yang bertanggung jawab karena membiarkan polarisasi ini terjadi, dan wacana publik selama bertahun-tahun telah menciptakan sentimen anti-Muslim ini."

“Ada banyak Muslim yang tidak mau mengidentifikasi diri karena mentalitas korban semacam ini dan merasa tidak bangga menjadi Muslim dan tidak ingin menunjukkan bahwa mereka Muslim karena mereka tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi. Ada perempuan Muslim yang tidak berhijab karena khawatir tidak mendapat pekerjaan. Pria-pria Muslim yang tidak mau mengatakan hal-hal tertentu bernuansa Islam di tempat kerja karena takut kehilangan pekerjaan," papar Lawendy.

Menurut jajak pendapat Angus Reid pada 2017, 46 persen orang Kanada memiliki pandangan yang tidak baik tentang Islam. Lawendy menekankan bahwa sentimen negatif dan kebencian umumnya bukan didorong oleh pengalaman sehari-hari orang-orang dengan Muslim, melainkan didorong oleh penggambaran mereka yang tidak manusiawi di media, dunia online, dan panggung politik.

Pendapat Lawendy senada dengan pandangan banyak pakar sosial di Kanada. Beberapa diantara mereka mengatakan, Islamofobia dan sentimen anti-Muslim hampir menjadi norma di Kanada, dan bahwa kekerasan, kebencian, dan ketidakpedulian yang disengaja terhadap Muslim sering diabaikan, dimaafkan, dan diterima baik di tingkat sosial maupun politik.

Komunitas Muslim dan para pendukungnya menyerukan para politisi untuk mengambil sikap yang lebih keras terhadap Islamofobia yang terbuka dan terselubung, dengan mengatakan bahwa RUU dan kebijakan yang menarget orang-orang memiliki keyakinan agama harus segera dihentikan karena memicu kebencian dan ketakutan.

"Tidak ada konsekuensi, atau tidak ada konsekuensi yang signifikan, bagi mereka yang mengekspresikan kebencian terhadap kelompok orang yang berbeda, termasuk Muslim," kata Evan Balgord, direktur eksekutif Jaringan Anti-Kebencian Kanada. "Jadi, orang merasa lebih bebas untuk mengekspresikan diskriminasi, prasangka, dan kebencian mereka."

Balgord mengatakan contoh lain dari kebencian anti-Muslim yang tidak dianggap serius di Kanada adalah cara anggota parlemen federal menanggapi mosi M-103 yang tidak mengikat, yang antara lain menyerukan agar House of Commons (atau Majelis Rendah) mengutuk Islamofobia. Pada bulan Maret 2017, 91 anggota parlemen memberikan suara menentang mosi tersebut, termasuk mayoritas kaukus Konservatif – dan Erin O’Toole, yang sekarang menjadi pemimpin partai – dengan alasan masalah kebebasan berbicara. Mosi itu sendiri lolos dengan dengan selisih suara 201-91.

Selain tidak mengambil tindakan yang memadai terhadap Islamofobia, Balgord mengatakan sering kali para politisi sendiri menyulut kebencian terhadap Muslim dengan menerapkan kebijakan diskriminatif dan ikut menyuarakan persepsi miring masyarakat.

Para advokat HAM secara khusus menyerukan kepada pemerintah federal untuk menghentikan RUU 21 yang kontroversial, dengan mengatakan RUU itu mengirimkan pesan ke seluruh negeri bahwa diskriminasi terhadap kelompok orang tertentu boleh saja. RUU tersebut, yang disahkan di Quebec pada Juni 2019, melarang pegawai negara bagian mana pun, termasuk hakim, polisi, atau guru, untuk mengenakan simbol agama di tempat kerja

FOLLOW US