• Bisnis

Mencari Model Bisnis Yang Memihak Musisi

Akhyar Zein | Minggu, 04/04/2021 07:02 WIB
Mencari Model Bisnis Yang Memihak Musisi Grup musik SHE membawakan single terbarunya berjudul Bulan Maret di Kopilatory, Bandung, Jawa Barat, Sabtu, 20 Maret 2020. Grup musik yang sudah 21 tahun berkarya ini mengandalkan rilisan digital untuk memutarkan karyanya. 
(foto: Anadolu Agency)

Katakini.com - Band SHE, setelah delapan tahun tidak mengeluarkan karya, akhirnya merilis single terbaru bertajuk “Bulan Maret” secara live dari Kopilatory, Bandung, Sabtu, 20 Maret lalu.

Publik bisa memutar dan menyaksikan ulang penampilan mereka saat meluncurkan single di platform berbagi video, Youtube.

Grup musik beranggotakan empat perempuan ini sudah ganti pasang personil sejak terbentuk 22 Februari 2000 lalu. SHE sendiri singkatan dari Sound and Harmony Eclectic.

Personil terdahulu grup musik ini, antara lain Arina Ephipania yang sekarang bermusik dengan band Mocca dan Melly Herlina atau yang lebih dikenal sebagai Melly Mono kini berkarir sebagai solois.

Mereka berhasil mencuri perhatian publik saat melepas lagu ‘Slow Down Baby’ di album keduanya berjudul ‘Tersenyum Lagi’.

Grup musik ini sudah merilis empat album.

Keyboardis SHE, Dyah Sekar bercerita single terbaru ini hendak mengajak pendengarnya tetap bersemangat di tengah berbagai kesulitan.

“Kejadiannya pada Maret, saya lagi mudik dari Cimbuleuit ke Buah Batu, tengah malam, (ada) anak-anak masih mengemis tapi mereka happy dalam kondisi kurang beruntung. Itu awal inspirasinya,” kata Dyah.

Drummer SHE, Adisty Zulkarnaen optimistis rilisan digital ini bisa diakses masyarakat dengan mudah di dunia maya, pembatasnya hanya kuota internet.

“Untuk promo langsung ke radio-radio ditunda dulu (karena Covid-19). Tapi bisa didengar di seluruh Indonesia dan luar negeri, sudah senang banget,” kata Adisty.

Single ini diproduseri oleh Ari Marifat, musisi kawakan pemilik label ARM Music Production.

Ari bertanggungjawab memastikan karya itu terus berputar secara digital meski monetasinya tidak bisa diandalkan sebagai penyokong pendapatan grup musik itu.

“Karya ini harus terus menghasilkan, misalnya, kita bisa buat jadi theme song web series,”

“Harus cari cara sendiri, kalau dulu sewa agency advertising, sekarang tidak ada dana buat itu. Harus kreatif buat bertahan,” tutur Ari yang jadi musisi bersama grup musik parodi, Padhyangan 6 pada era 90-an.

Ari menyadari pembagian keuntungan dari penyedia layanan media streaming sangat kecil bagi musisi, kecuali mereka yang karyanya diputar jutaan kali.

Kelebihannya platform ini pada pendataan soal pemutaran digital yang bisa dicek langsung.

Ari menggunakan layanan streaming hanya sebagai etalase buat musisi.

“Output-nya jadi gigs. Kalau hanya andalkan digital, kita dikacangin,” imbuh dia.


-Pembagian keuntungan yang adil

Kegelisahan ini jadi inspirasi bagi Argia Adhidhanendra dan lima rekannya untuk meluncurkan The Store Front (TSF) pada 25 September 2020 lalu.

Ini adalah toko daring yang menjual karya musik digital, rilisan fisik, hingga merchandise.

TSF hanya akan mengambil bagian 10 persen dari setiap penjualan yang mereka layani.

“Inisiatif ini masih gerakan organik karena kita tidak dapat funding dari mana pun. Masih self sustaining (dari pemasukan yang ada),” tutur Argia yang sehari-hari bekerja di perusahaan teknologi.

TSF menyerahkan harga jual single, EP atau rilisan berisi dua hingga enam lagu, LP atau rilisan berisi lebih dari enam lagu, kaset, cakram padat (CD), vinyl, hingga merchandise kepada musisinya.

“Ada satu yang menawarkan gratis (bisa diakses cuma-cuma),” terang Argia yang dipercaya sebagai Store Director TSF.

Pria berusia 23 tahun ini menerangkan, per-21 Maret 2021 sudah ada 181 file digital serta 89 rilisan dan merchandise yang dipajang di TSF.

“Penggunanya tercatat 7.100-an,” kata Argia.

Terobosan TSF ini berupaya melawan skema pembagian keuntungan yang tidak rasional dari layanan media streaming.

Tesis Claire Carter bertajuk “How Streaming Services Changed the Way We Listen to and Pay for Music” di University of Mississippi mendeskripsikan penyedia layanan membagi profit sebesar USD0,0125-0,00133 untuk setiap streaming kepada artisnya.

Dengan kurs Rp14.000 per dolar, setiap satu streaming, seorang musisi hanya kebagian untung antara Rp18,62-Rp175.

Pembagian per streaming itu, masing-masing, Tidal (Rp175), Apple Music (Rp102,9), Spotify (Rp61,18), Amazon Music Services (Rp56,28), dan Pandora (Rp18,62).

Dengan rincian itu, seorang musisi yang menempatkan karya di Spotify memerlukan 61 ribuan streaming agar bisa memperoleh pemasukan setara upah minimum sebulan di Kota Bandung sebesar Rp3.742.276,48.

Kurasi karya menjadi tugas Argia di TSF. Mereka mengumumkan materi baru tanggal 25 setiap bulan.

Bermodalkan pengalaman sebagai promotor musik berlabel Noisewhore sejak 2016, Ardia dan kawan-kawannya tidak kesulitan mencari musisi untuk diajak bergabung ke toko mereka lewat pendaftaran daring.

“Sejauh ini trust sudah lumayan terbangun,” jelas Argia.

Kepercayaan itu dia bayar dengan memberikan royalti penjualan karya setiap bulan kepada masing-masing musisi.

Jika ada yang terlewat, musisi bisa menagih karena TSF juga memberikan laporan bulanan.

Pada rentang 26 Desember 2020-17 Januari 2021, TSF sudah membagikan keuntungan sebesar Rp6.273.390 kepada musisi.

Pembagian itu dari penjualan 175 rilisan digital, fisik, dan merchandise.

TSF mendapat bagian sebesar Rp1.074.821.

Sejak beroperasi, TSF mencatat ada 1.000 order dan sudah menyalurkan keuntungan hingga Rp45 juta kepada para musisi.

Argia tidak mau terburu-buru menjadikan toko ini sebagai satu-satunya sumber pemasukan.

“Kalau Desember (2020) kita baru bisa bayar satu orang staf. Sekarang per Maret 2021, kita sudah bisa bayar tiga dari enam staf dengan rate antara Rp500 ribu hingga Rp700 ribu.

“Buat jadi model bisnis, sudah visible bagi artis, tidak visible bagi stafnya,” kata Argia saat video call dengan Anadolu Agency.

Tantangan selanjutnya adalah mengedukasi dan memastikan pengguna bijak dengan karya digital yang mereka beli.

“Kami melarang dan tidak menoleransi pembagian file,” tegas Argia

 

-Masih menjanjikan

Apakah ini berarti bisnis musik dalam versi fisik sudah tidak menjanjikan?

Perjalanan Grimloc Records sejak sejak 2010 membuktikan sebaliknya.

Herry Sutresna, satu dari dua pendiri Grimloc ini, percaya sistem bisnis kolektif yang dilakoninya tetap relevan.

Kolektif ini mengacu pada skema kerja yang dilakukan bersama-sama, tidak ada atasan dan bawahan.

Tujuh pekerja yang ada di Grimloc membahas rencana kerja hingga penetapan gaji secara terbuka.

“Tiap enam bulan kita bahas,” tuturnya.

Ucok, demikian Herry biasa disapa, berprinsip 99 persen album yang diproduksi dan dijual labelnya hanya karya orang Bandung dan sekitarnya.

 

Cara kolektif ini seharusnya ditiru di kota-kota lain.

“Biar setiap orang membangun kotanya sendiri. Kita bisa sharing resources, distribusi, sampai operasional.

“Idealnya, tiap orang itu peduli sama skena masing-masing kota,” ujar Ucok di markas Grimloc.

Setiap artis yang mau dirilis oleh Grimloc harus sudah merekam, mixing, dan memiliki master karyanya.

Ucok belajar dari pengalaman tahun 90-an, saat itu banyak artis yang tidak menguasai master karyanya karena dalam proses pembuatannya dibiayai oleh orang lain.

“Dalam praktiknya selalu ada bargaining. Misal kita ingin merilis album band tertentu tapi tidak ada biaya rekaman, kami (Grimloc Records) akan berikan uang pinjaman agar mereka bisa produksi master.

“Pengembaliannya bisa potong royalti atau merchandise, kami bantu,” tutur Ucok seraya menambahkan setiap artis mendapat royalti 20 persen dari harga jual albumnya.

Ucok menempatkan pasar sebagai pertimbangan paling rendah dalam merilis album.

Perjalanan selama satu dekade membuktikan, rilisan fisik seperti kaset, CD, dan vinyl masih ada pembelinya.

Dia memberi ilustrasi saat memutuskan untuk memproduksi double vinyl album Blacklight milik Koil 2019 lalu.


Harga jualnya Rp600 ribu.

“Fans Koil itu ratusan ribu, kita hanya perlu sekian persen yang mau membeli. Kita buat 500 keping dan tetap ada yang membeli,” ujar Ucok.

Mereka yang membeli rilisan fisik bakal mendapatkan art work yang bisa diperhatikan secara detail, catatan-catatan dari musisi, hingga dokumentasi yang tidak ada dalam rilisan digital.

“Kualitas suara juga beda, kalau di digital itu bubuk, hancur,” terang Ucok yang tetap mendiskusikan keluaran dari karya bersama artis sebelum tahap produksi.

Kualitas suara ini juga yang jadi pertimbangan Herlambang Jaluardi, 39 tahun, salah satu penggemar album fisik, dalam membeli karya.

“Kualitas audio nomor satu, katalog bisa urutan dua,” ujar pria yang beberapa kali membeli karya digital via TSF ini.

Herlambang juga mengapresiasi gerakan yang dibangun oleh TSF dalam konteks mengapresiasi musisi lebih baik.

“Kekurangannya karena kita digital perlu ada storage besar, ini sudah tidak biasa,” papar Herlambang.

Soal pembelian rilisan fisik, Herlambang merasa lebih puas karena bisa dapat informasi lain di luar lagu.
“Ada cerita atau tulisan, artwork yang bisa bantu kita berimajinasi saat mendengarkan lagunya. Lebih membuat kepuasan,” imbuh dia.

FOLLOW US