• News

DPR Didesak Segera Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Akhyar Zein | Jum'at, 27/11/2020 05:30 WIB
DPR Didesak Segera Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid (kanan)

Katakini.com - Amnesty International Indonesia dan sejumlah warga sipil mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pada 2021.

Mereka berencana mengirimkan 3.352 surat dari masyarakat ke DPR yang berisi desakan untuk mengesahkan RUU ini.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid menuturkan RUU ini sangat dibutuhkan, mengingat kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terus meningkat.

Komisi Nasional Perempuan mencatat sebanyak 431 ribu kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kurun Maret 2019 hingga Maret 2020.

Usman menuturkan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat hingga 75 persen pada masa pandemi.

“Ironisnya, minim sekali kasus-kasus kekerasan seksual yang dilaporkan,” kata Usman dalam konferensi pers virtual pada Kamis.

Usman melanjutkan, angka tersebut bukan sekedar statistik karena ancaman kekerasan seksual terhadap perempuan sangat nyata.

“Pekan ini kita tahu sebuah media internasional memberitakan bahwa kekerasan seksual terjadi di perkebunan sawit, bayangkan di perkebunan di tengah hutan seorang perempuan diserang secara seksual,” kata Usman.

Sementara itu, hanya sangat sedikit kasus kekerasan seksual yang kemudian diusut secara hukum. Banyak kasus yang terhenti karena dianggap tidak memiliki cukup bukti.

“Banyak hal yang belum tersentuh oleh hukum kita, oleh karena itu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sangat mendesak untuk disahkan,” ujar Usman.

Koordinator Seknas Forum Pengada Layanan (FPL) Bagi Perempuan Korban Kekerasan, Veni Siregar menuturkan RUU PKS seharusnya bisa mengakomodasi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang sejauh ini belum tersentuh oleh hukum.

Draf RUU PKS yang ada sebelumnya telah mencakup sembilan bentuk kekerasan seksual yang lebih relevan dan juga sering menimpa korban.

Sembilan bentuk kekerasan seksual tersebut yakni pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Menurut Veni, ada sejumlah kasus pemerkosaan menggunakan benda tumpul yang pada akhirnya tidak dikenali sebagai tindakan perkosaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

“Tidak ada alasan DPR menundanya, karena ini sudah sangat urgent,” tutur Veni.

Selain itu, RUU PKS juga diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan pemulihan dan perlindungan terhadap korban akibat trauma yang mereka alami.

Sementara itu, Ketua Badan Legislatif DPR RI Supratman Andi Agtas menjanjikan bahwa RUU PKS akan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2021.

“Saya pastikan sekali lagi berdasarkan komunikasi kami ke seluruh fraksi di Baleg, bersama kelompok fraksi, semua beri dukungan terhadap sesegara mungkin RUU ini bisa kita selesaikan,” ujar Supratman.

Namun dia tidak menyangkal bahwa ada perdebatan pada substansi di RUU PKS yang oleh sebagian pihak dianggap bertentangan dengan norma atau dogma keagamaan.

Dia berharap perbedaan pandangan secara politis ini tidak menguburkan substansi dari RUU PKS untuk kepentingan perlindungan korban.

“Kalau kita berharap bahwa yang kita kejar adalah sisi perlindungan dan korban tentu kita lebih mengeksploitasinya dari substansi yang diinginkan dibandingkan masalah yang seharusnya tidak perlu kita perdebatkan,” kata Supratman.(Anadolu Agency)

FOLLOW US