"Pertama, evaluasi Perpres Nomor 38 Tahun 2019 terkait perluasan penggunaan LPG ber
subsidi," ucap Plt Juru Bicara
KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati Kuding dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (8/10/2020).
Kedua, lanjut Ipi, pemerintah diminta mengubah kebijakan dari
subsidi harga komoditas ke PT Pertamina menjadi bantuan langsung (targeted subsidy) dalam bentuk "cash transfer" dengan utilisasi Basis Data Terpadu (BDT).
"Sekarang dikenal dengan DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang memiliki NIK (Nomor Induk Kependudukan) sebagai target penerima
subsidi energi," kata Ipi.
Ketiga, kata dia, adanya perbaikan "database" untuk target penerima Usaha Kecil dan Menengah (UKM).
Untuk diketahui, pada rentang Januari-Juli 2019,
KPK telah melakukan Kajian Sistem Tata Kelola Program LPG 3 kilogram.
Kajian itu dilakukan untuk memetakan potensi kerawanan dan permasalahan dalam program LPG ber
subsidi serta merumuskan langkah-langkah strategis dan operasional dalam program LPG ber
subsidi.
KPK pun menemukan dua permasalahan dalam program LPG ber
subsidi tersebut.
Permasalahan pertama terkait aspek perencanaan, yakni tidak jelasnya kriteria pengguna LPG ber
subsidi dan tidak akuntabelnya penerapan kuota penerima LPG ber
subsidi.
Kedua dari aspek pelaksanaan, yaitu lemahnya sistem pengawasan distribusi, lemahnya kendali dalam implementasi penerapan Harga Eceran Tertinggi (HET), dan tidak operasionalnya pengaturan zona distribusi LPG Public Service Obligation (PSO).
Ipi mengatakan ada tiga kesimpulan atas kajian yang telah dilakukan
KPK, yaitu upaya pemerintah untuk konversi penggunaan minyak tanah menjadi LPG dengan
subsidi harga komoditas terbukti tidak efektif dengan meningkatnya anggaran
subsidi melebihi
subsidi minyak tanah.
"Kemudian,
subsidi harga LPG 3 kilogram bermasalah mulai dari perencanaan, operasional, pengendalian, dan pengawasan, serta mekanisme pengendalian melalui distribusi tertutup terbukti gagal," katanya.