JAKARTA – Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDIP Rieke Diah Pitaloka mengaku lega dan mengapresiasi Rancangan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (RUU BUMN) yang kembali memiliki semangat Pasal 33 UUD 1945. Pada perubahan ke empat regulasi BUMN tersebut pejabat Komisaris dan Direksi BUMN ditegaskan secara ekspolisit sebagai pejabat negara. Sehingga mereka dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum, baik oleh kejaksaan, KPK, mapun diperiksa oleh BPK.
Hal ini diungkap Rieke dalam Forum Legislasi bertajuk "Pengesahan RUU BUMN Harapkan Percepat Kemajuan Ekonomi Nasional" di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (9/10/2025).
“BUMN adalah instrumen negara untuk menjalankan demokrasi ekonomi yang sesuai dan searah dengan Pasal 33 konstitusi kita. Kalau lihat TAP MPR-nya (TAP MPR Nomor XVI Tahun 1998), kira-kira ada Pasal 1, Pasal 2, Pasal 5, dan Pasal 6, yang menegaskan keberadaan BUMN sebagai salah satu pilar ekonomi,” kata Rieke.
Rieke melihat, dalam RUU BUMN hasil revisi terakhir, sedikitnya ada 11 perubahan substansi. “Namun yang paling penting menurut saya adalah mengembalikan supaya tidak terjadi saling tabrakan antara norma-norma seperti sebelum direvisi dikatakan bahwa pejabat BUMN bukan penyelenggara negara. Itu salah satu poin yang sangat krusial,” tuturnya.
Di tempat yang sama, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Ahmad Labib, menegaskan bahwa RUU BUMN harus menjadi landasan untuk memperkuat profesionalisme, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan BUMN.
Ia menekankan pentingnya menempatkan kompetensi dan integritas sebagai dasar utama dalam penunjukan direksi dan komisaris, bukan karena kedekatan pribadi atau kepentingan politik.
“Semangat utama dalam RUU BUMN ini adalah peningkatan kinerja dan profesionalisme. Kita ingin direksi dan direktur BUMN dipilih berdasarkan kompetensi dan integritas, bukan karena kedekatan politik atau personal,” ujar Labib.
Labib menjelaskan, RUU BUMN juga mengatur prinsip smart governance yang menekankan transparansi, akuntabilitas, serta tanggung jawab manajerial. Negara, kata dia, harus berperan sebagai pemilik (owner), bukan pengelola langsung dalam operasional BUMN.
“Pengelolaan harus dilakukan oleh manajemen yang profesional agar perusahaan bergerak efisien dan responsif terhadap kebutuhan pasar,” tambahnya.
Menurutnya, semangat penyusunan RUU BUMN adalah menjadikan perusahaan pelat merah lebih adaptif terhadap tantangan global tanpa kehilangan fungsi sosial dan nasionalnya.
“Tujuannya jelas, BUMN harus menjadi pilar utama pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat,” katanya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengapresiasi pernyataan Presiden Parabowo yang menghentikan pemberian bonus bagi komisaris dan direksi perusahaan BUMN yang merugi. Pernyatan Presiden Prabowo itu dinilainya sebagai keputusan berani dan tepat. Kebijakan itu, menjadi sinyal kuat bahwa era “zona nyaman” pejabat BUMN sudah berakhir.
“Pernyataan Presiden Prabowo kemarin sangat menarik. Beliau bilang, perusahaan rugi kok komisaris dan direksinya masih dapat bonus, bahkan bonus untuk dirinya sendiri. Ini kan brengsek banget, dan itu memang tidak fair,” ujarnya.
Pangi juga menyoroti pernyataan Prabowo terkait aset negara yang diduga disembunyikan dan nilainya mencapai lebih dari 1.000 triliun rupiah. Ia menilai pernyataan itu perlu ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum agar aset-aset negara yang “terpendam” bisa diselamatkan.
“Kalau benar aset negara mencapai 1 triliun dolar, itu harus diusut oleh kejaksaan, kepolisian, dan KPK. Negara tidak boleh dibiarkan dirampok seperti ini,” tegasnya.