JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta menyoroti penanganan kasus narkotika dalam sistem peradilan pidana Indonesia yang dinilai masih belum mampu membedakan secara tegas antara pengguna dan bandar narkoba. Hal ini, menurutnya, menjadi salah satu penyebab utama tingginya tingkat kepadatan lembaga pemasyarakatan (Lapas) di seluruh Indonesia.
Dalam kunjungan kerja spesifik Komisi III DPR RI ke Polda Jawa Timur untuk menyerap masukan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP), Sudirta menyampaikan bahwa pendekatan terhadap kejahatan narkotika harus dipilah dengan lebih bijaksana, antara pengguna sebagai korban dan bandar sebagai pelaku utama.
"Pengguna narkoba harusnya direhabilitasi, bukan dipenjara. Sementara bandar dan pengedar besar harus dihukum berat, bahkan hukuman mati. Dua pendekatan inilah yang terbukti berhasil di negara-negara seperti Portugal," ujar Sudrita dalam keterangan tertulis,Minggu (21/9).
Menurut Politisi Fraksi PDI-Perjuangan tersebut, penjara bukanlah solusi ideal bagi pengguna narkoba. Ia menilai, pengguna merupakan korban dari jaringan peredaran gelap narkotika, yang seharusnya mendapatkan pemulihan, bukan hukuman pidana. Sebaliknya, hukuman tegas seperti hukuman mati harus diterapkan kepada bandar narkoba sebagai bentuk penegakan hukum yang kuat dan memberi efek jera.
Sudirta juga mencontohkan keberhasilan negara-negara Eropa yang telah menerapkan model dekriminalisasi terhadap pengguna narkoba dan fokus pada rehabilitasi serta pemberantasan jaringan pengedar dan bandar. Ia menyebut, keberhasilan Portugal dalam menekan angka pengguna narkoba dan mengurangi kepadatan Lapas merupakan model yang relevan untuk diadopsi oleh Indonesia.
“Kalau dua konsep ini diterapkan secara serius, penjara bisa kosong. Di Eropa, beberapa penjara bahkan sudah berubah fungsi karena tidak lagi dipenuhi narapidana narkoba,” tambahnya.
Dalam forum diskusi dengan jajaran Badan Narkotika Nasional Jatim, Sudirta menilai bahwa kebijakan penegakan hukum terhadap kasus narkoba saat ini masih belum konsisten dan cenderung mengabaikan prinsip keadilan substantif. Ia menilai masih banyak kasus di mana pengguna dijerat pasal berat dan diperlakukan setara dengan bandar, sehingga menyumbang angka overkapasitas lapas yang kian mengkhawatirkan.
“Kita harus bisa bedakan antara pengguna yang bisa direhabilitasi dengan bandar yang harus dihukum berat. Kalau ini tidak dibedakan, maka upaya pemberantasan narkoba akan terus gagal,” tegasnya.
Sudirta menekankan bahwa RKUHAP harus menjadi momentum untuk memperbaiki politik hukum di Indonesia dalam penanganan narkotika, dengan mengedepankan asas keadilan, efektivitas, dan efisiensi penegakan hukum. Ia juga mendorong agar pendekatan berbasis restorative justice diberlakukan lebih luas terhadap pengguna, terutama dalam kasus-kasus dengan kadar rendah atau pemakaian pribadi.
“Restoratif justice bukan hanya untuk pencurian ringan, tapi bisa juga untuk penyalahgunaan narkoba oleh individu. Rehabilitasi adalah jalan tengah antara keadilan dan kemanusiaan,” pungkasnya.
Kunjungan kerja Komisi III DPR RI ke Polda Jatim ini merupakan bagian dari agenda evaluasi terhadap berbagai permasalahan hukum di daerah, sekaligus penyerapan aspirasi terhadap penyusunan undang-undang hukum acara pidana yang baru. Isu narkoba dan overkapasitas lapas menjadi salah satu fokus utama dalam pembahasan.