JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Sarifuddin Sudding menyerukan perlunya reformasi kultural di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sebagai bagian dari pembenahan menyeluruh institusi penegak hukum.
Pernyataan itu disampaikannya dalam kunjungan kerja spesifik Komisi III DPR RI ke Polda Jawa Timur, yang bertujuan menyerap masukan terhadap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP).
Menurut Sudding, reformasi yang selama ini dilakukan di kepolisian terlalu fokus pada aspek struktural dan birokratis, tetapi belum menyentuh persoalan sikap mental dan budaya kerja aparat kepolisian di lapangan.
“Selama ini masih ada laporan masyarakat yang diabaikan, tindakan kekerasan oleh oknum, serta sikap mental aparat yang tidak mencerminkan pelayanan publik. Ini bukan hanya soal struktur, tapi soal karakter institusi yang harus dibenahi dari akarnya,” ujar Sudding dalam keterangan tertulis, Minggu (21/9).
Sudding menambahkan bahwa adanya laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti dan perlakuan represif oleh aparat menjadi masalah berulang dalam sistem penegakan hukum Indonesia. Menurutnya, penyalahgunaan wewenang kerap terjadi karena tidak adanya kontrol budaya internal dan lemahnya implementasi nilai-nilai profesionalisme.
“Reformasi struktural tanpa dibarengi perubahan kultur hanya akan memperpanjang masalah. Kita tidak bisa berharap perubahan nyata jika mentalitas aparat masih arogan dan tidak berpihak pada keadilan,” tegasnya.
Politisi Fraksi Partai Amanat Nasional ini juga mengingatkan pentingnya menjadikan pengaduan masyarakat sebagai indikator kinerja aparat, bukan dianggap sebagai gangguan atau ancaman terhadap institusi. Dalam konteks ini, ia mendorong agar sistem pengawasan internal maupun eksternal Polri diperkuat dan diintegrasikan dengan prinsip akuntabilitas.
Menurut Sudding, RKUHAP harus menjadi salah satu instrumen untuk memperkuat akuntabilitas dan transparansi kepolisian, sekaligus mendorong humanisasi dalam penegakan hukum. Prinsip due process of law harus diterapkan secara konsisten, termasuk hak atas pendampingan hukum, perlindungan saksi, serta perlakuan yang setara di hadapan hukum.
Lebih jauh, Sudding menegaskan bahwa reformasi hukum tidak cukup hanya melalui pembaruan undang-undang. Ia menekankan bahwa reformasi sejati akan terwujud jika aparat penegak hukum (baik Polri, Kejaksaan, maupun Pengadilan) mengubah cara pandang mereka dalam menjalankan fungsi penegakan hukum.
“Reformasi hukum bukan sekadar mengganti pasal atau menata ulang struktur. Yang paling penting adalah bagaimana aparat memahami posisi mereka sebagai pelayan keadilan, bukan penguasa hukum,” ujarnya.
Kunjungan Komisi III DPR RI ke Polda Jatim ini merupakan bagian dari rangkaian evaluasi lapangan terhadap kesiapan institusi penegak hukum dalam menyambut pengesahan RKUHAP, yang ditargetkan menjadi fondasi hukum acara yang lebih modern, adil, dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia.