JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Hinca Panjaitan menjelaskan bahwa konsep restorative justice sejatinya lahir dari kearifan lokal bangsa Indonesia, bukan gagasan impor dari penjajah Belanda.
Penjeasan itu ia sampaikan saat membahas urgensi revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang harus selaras dengan KUHP baru.
“Restorative justice itu sebenarnya sesuai dengan kearifan lokal di Indonesia. Sebelum Belanda datang membawa KUHP kita, tidak ada kebiasaan saling memenjarakan. Semua persoalan diselesaikan dengan salaman,” kata Hinca dalam keterangan tertulis, Sabtu (13/9).
Keterangan tersebut Hinca sampaikan usai mengikuti Kunjungan Kerja Spesifik dalam rangka Serap Aspirasi RUU KUHAP di Mapolda Jambi, Jambi, Jumat (12/9/2025).
Politisi Fraksi Partai Demokrat itu mencontohkan kisah-kisah klasik Nusantara, seperti cerita Hang Tuah dan Hang Jebat di Tanah Melayu, yang menggambarkan penyelesaian masalah tanpa harus melalui pengadilan. Menurutnya, masuknya hukum pidana kolonial Belanda sejak Staatsblad 1915 No. 732 dan berlaku pada tahun 1918 membuat budaya penyelesaian damai terpinggirkan.
“Karena dia penjajah, kita dijajah. Maka melawan penjajah, masuk penjara,” ujarnya.
Hinca menekankan bahwa UU KUHP baru yang akan berlaku pada 2 Januari 2026 merupakan terobosan besar karena dibangun atas dasar demokrasi dan kearifan lokal bangsa. Oleh sebab itu, KUHAP yang menjadi hukum acara harus mampu mengakomodasi prinsip restorative justice secara menyeluruh.
“Selama ini aturan soal restorative justice terpisah-pisah di berbagai lembaga, mulai dari Kejaksaan, Kepolisian, hingga Mahkamah Agung. Ke depan tidak boleh lagi ada aturan yang berjalan sendiri-sendiri. Semua harus masuk dalam KUHAP agar berlaku untuk kita semua,” tegasnya.