JAKARTA – Transparency International Indonesia (TII) merilis laporan terbaru bertajuk “Risiko Korupsi di Balik Hidangan Makan Bergizi Gratis” yang menyoroti tingginya kerentanan korupsi dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) melalui pendekatan Corruption Risk Assessment (CRA).
Kajian ini menunjukkan bahwa MBG bukan hanya berisiko gagal secara implementatif, tetapi juga membuka ruang bagi korupsi sistemik akibat lemahnya tata kelola, berkelindannya konflik kepentingan, serta praktik pengadaan barang dan jasa yang tidak akuntabel.
Berdasarkan informasi yang dipublis ti.or.id pada Senin (30/6/2025) disebutkan, dengan estimasi anggaran hingga Rp 400 triliun dan target 82,9 juta penerima manfaat, MBG digadang-gadang sebagai program prioritas untuk menurunkan stunting dan memperkuat sumber daya manusia. Namun, dalam praktiknya dalam kerangka CRA yang dilakukan TII mengidentifikasi risiko utama:
Ketiadaan Regulasi Pelaksana
Hingga pertengahan 2025, MBG masih dijalankan hanya dengan petunjuk teknis internal. Tidak adanya Peraturan Presiden membuat pelaksanaan program tidak memiliki pijakan hukum yang cukup, serta mengaburkan mandat koordinasi lintas sektor.
Konflik Kepentingan Kronis
Penunjukan mitra pelaksana Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dilakukan tanpa mekanisme verifikasi terbuka. Beberapa yayasan pengelola diketahui memiliki afiliasi dengan aktor politik, institusi militer dan kepolisian, serta kelompok kekuasaan tertentu. Sebagai contoh, polisi lalu lintas yang seharusnya bertugas menjaga keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas justru terlibat dalam distribusi MBG. Hal ini menciptakan akses preferensial yang merusak prinsip meritokrasi dan netralitas layanan publik.
Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Rawan Manipulasi
Kajian menunjukkan proses PBJ dalam MBG tidak mengindahkan prinsip transparansi. Banyak aktivitas pengadaan dilakukan tanpa dokumentasi terbuka, dan tidak dilengkapi dengan sistem pengawasan berbasis data. Berdasarkan Survei Penilaian Integritas (SPI) KPK, sektor PBJ masih mendominasi kasus suap dan gratifikasi, dan MBG menunjukkan indikasi kuat mengarah ke sana.
Lemahnya Pengawasan
Lemahnya pengawasan membuka celah bagi praktik mark-up harga, dengan penggunaan bahan pangan berkualitas rendah atau tidak layak konsumsi. Salah satu preseden implementasi MBG adalah siswa keracunan makan siang. Belum lagi, terkait pengawasan terhadap pengadaan barang dan jasa.
Meningkatnya risiko kerugian keuangan negara (potential loss)
Dari hasil kajian Corruption Risk Assessment (CRA) program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjangkau 82,9 juta penerima manfaat tanpa melakukan prioritas penerima manfaat, berisiko membebani anggaran negara. Kebijakan ini berpotensi mendorong pelebaran defisit anggaran hingga mencapai 3,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang berarti melampaui batas maksimal defisit 3% PDB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Kerugian keuangan negara ini ditaksir mencapai Rp 1,8 miliar per tahun di setiap SPPG.
“Program MBG tampak menjanjikan di atas kertas, namun gagal memenuhi prasyarat tata kelola yang sehat. Tingginya kerentanan korupsi dalam program MBG menunjukkan program ini harus dimoratorium segera supaya tidak memperbesar kerugian negara,” ujar Agus Sarwono, Peneliti Transparency International Indonesia.
Oleh sebab itu, TII mendesak pemerintah untuk segera:
“Tanpa koreksi struktural, MBG dapat menjadi preseden buruk dalam penggunaan program sosial berskala nasional sebagai alat konsolidasi kekuasaan dan pemanfaatan politik anggaran,” demikian rilis TII.