Jakarta, Katakini.com - Sejarah umat manusia tak lepas dari peran sosial yang kompleks, termasuk keberadaan pekerja seks komersial (PSK). Dalam berbagai literatur dan catatan arkeologis, profesi ini bahkan disebut-sebut sebagai salah satu yang paling tua di dunia.
Meski sering kali menjadi subjek kontroversi dan stigma, jejak PSK dalam sejarah peradaban menunjukkan peran yang tak bisa disangkal, baik secara sosial, ekonomi, maupun budaya.
Dalam catatan sejarah peradaban Mesopotamia, yang dianggap sebagai salah satu pusat peradaban tertua di dunia, praktik prostitusi sudah tercatat sejak tahun 2400 SM.
Di kota-kota seperti Uruk dan Shuruppak, para perempuan yang bekerja sebagai PSK disebut "munus-kin," dan mereka bukan hanya hadir dalam praktik sosial biasa, tetapi juga terlibat dalam ritus keagamaan.
Di beberapa kuil, terutama yang dipersembahkan untuk dewi kesuburan Ishtar atau Inanna, terdapat praktik yang dikenal sebagai "prostitusi suci", meski istilah ini masih diperdebatkan di kalangan akademisi modern.
Praktik semacam itu juga ditemukan di wilayah Timur Dekat, India kuno, dan beberapa bagian Eropa awal. Di Yunani Kuno, prostitusi bukan hanya dilegalkan, tetapi juga diatur oleh negara.
Para pekerja seks dikenakan pajak, dan ada perbedaan kelas yang cukup jelas antara mereka yang bekerja di bordil-bordil biasa (pornai) dan perempuan pendamping elit (hetaira) yang dikenal cerdas, fasih berbicara, dan sering menjadi teman diskusi para filsuf atau bangsawan.
Romawi Kuno melanjutkan sistem regulasi ini. Dalam masyarakat Romawi, PSK diwajibkan mendaftar secara resmi dan mengenakan pakaian tertentu sebagai penanda status sosial.
Mereka dikenai pajak, dan praktik prostitusi dianggap sah meskipun tetap berada di bawah bayang-bayang stigma sosial. Namun, legalitas tersebut memungkinkan para pekerja seks untuk tetap hidup di dalam sistem yang terstruktur, meski tidak setara secara sosial.
Di Mesir Kuno, bukti praktik prostitusi ditemukan dalam bentuk literatur dan lukisan, meskipun sistem hukum mereka tidak secara eksplisit mencatat regulasi atas profesi ini.
Para pelacur di Mesir biasanya adalah penari, musisi, atau perempuan yang menyatu dengan kegiatan hiburan di ruang publik, meskipun dalam batasan-batasan budaya yang ketat.
Ketika masuk ke era abad pertengahan di Eropa, pandangan terhadap PSK berubah drastis, terutama karena pengaruh kuat institusi keagamaan. Prostitusi mulai dikecam sebagai bentuk dosa, meskipun praktiknya tetap berlangsung secara diam-diam.
Ironisnya, di banyak kota, pemerintah lokal tetap mengatur wilayah-wilayah prostitusi untuk alasan ekonomi dan pengendalian sosial, termasuk di kawasan bordil legal yang ditetapkan khusus di wilayah kerajaan atau pelabuhan.
Memasuki era modern, pendekatan terhadap PSK sangat bergantung pada konteks hukum dan budaya masing-masing negara. Di beberapa negara seperti Belanda dan Jerman, prostitusi dilegalkan dan diatur secara ketat, termasuk hak-hak tenaga kerja, jaminan kesehatan, dan perlindungan hukum.