• News

Romo Magnis: Toleransi Antarumat Beragama di Indonesia Sudah Baik

Yahya Sukamdani | Rabu, 14/06/2023 18:18 WIB
Romo Magnis: Toleransi Antarumat Beragama di Indonesia Sudah Baik Diskusi merawat toleransi beragama di Universitas Paramadina Jakarta, Selasa (13/6/2023). Foto: dok. katakini

JAKARTA - Universitas Paramadina bekerjasama dengan al-Musthafa International University (Iran) dan STAI Sadra serta didukung Paramadina Graduate School of Islamic Studies dan Asosiasi Aqidah dan Filsafat Islam menggelar seminar internasional bertema “Merawat Toleransi Beragama” di aula Firmanzah Universitas Paramadina, Selasa (13/6/2023).

Seminar ini menghadirkan tiga guru besar sebagai narasumber, Prof. Dr. Abdul Hadi WM (Universitas Paramadina), Prof. Dr. Franz Magnis-Suseno (STF Driyarkara), dan Prof. Dr. Hossein Muttaghi (al-Musthafa International University) dan dimoderatori oleh Dr. M. Subhi-Ibrahim.

Prof. Franz Magnis Suseno, menjelaskan intoleransi terdiri dari dua bentuk, yakni intoleransi biasa dan intoleransi agama. “Intoleransi biasa merupakan sifat alamiah manusia dalam memandang perbedaan. Sedangkan intoleransi agama merupakan sikap intoleran yang didasari oleh ajaran agama,” kata Romo Magnis melalui keterangan tertulis yang diterima katakini.com di Jakarta, Rabu (14/6/2023).

Bagi Romo Magnis, keragaman agama bisa menjadi berkah sekaligus bencana. “Kondisi toleransi dan komunikasi antarumat beragama di Indonesia sudah berjalan dengan baik, hal ini mesti dirawat secara terus-menerus dengan menjaga pola komunikasi, seperti saling menghormati, saling berempati dan menempatkan agama sebagai rahmat. Contoh terbaik ialah pertemuan dan dialog Imam Besar Ahmed al Tayeb dengan Paus Fransiskus,” paparnya.

Lebih lanjut, Romo Magnis menegaskan bahwa toleransi bukan pluralisme agama, sebab pluralisme melahirkan relativisme. Sebaiknya, kita sadari saja perbedaan agama-agama.

Sementara itu Prof. Abdul Hadi memaparkan pengalaman dan praktik-praktik toleransi yang telah mendarah-daging dalam berbagai tradisi di nusantara.

“Sungguh pun perilaku-perilaku intoleran atau kekerasan terjadi, hal itu bukan disebabkan oleh ajaran agama, melainkan didorong oleh faktor politik. Sebagai contoh ekspansi kerajaan Mataram Islam ke kerajaan Madura yang notabene-nya sesama muslim,” ujarnya.

Abdul Hadi juga menjelaskan bahwa identitas agama hadir sebagai gerakan yang radikal sebagai konsekuensi dan respon terhadap kolonialisme Belanda.

Sementara Prof. Hossein Muttaghi mencoba menjelaskan sikap toleransi dan moderasi beragama dengan mengkategorikan tiga kelompok pemikir muslim. “Pertama, kelompok yang memandang bahwa agama harus menyesuaikan diri dengan kehidupan modern. Kelompok ini dikenal juga dengan kalangan modernis, seperti, Syed Ahmed. Kedua, kelompok yang cenderung kembali ke belakang. Kehidupan modern, bagi mereka, harus sesuai dengan ajaran agama. Kelompok yang memiliki cara pandang seperti ini ialah salafi. Ketiga, kelompok yang menginginkan agama sebagai solusi kehidupan modern,” katanya.

“Jika agama tidak mampu mengambil peran itu, maka agama akan ditinggalkan. Pemikir muslim yang berada di sikap ini, yaitu Murtadha Muthahhari dan Nurcholish Madjid. Kedua tokoh ini berpegang tegung pada Islam dan Islam sebagai solusi,” imbuhnya.

FOLLOW US