• Info MPR

Lestari Moerdijat: Pengelolaan Perekonomian Harus Terus Waspada

Agus Mughni Muttaqin | Rabu, 10/05/2023 21:32 WIB
Lestari Moerdijat: Pengelolaan Perekonomian Harus Terus Waspada Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat (foto: Humas MPR)

JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat menyatakan, kewaspadaan dalam pengelolaan perekonomian harus terus ditingkatkan untuk mendorong pertumbuhan yang mampu memperkuat stabilitas nasional. Dampak tahun politik di dalam negeri dan gejolak perekonomian dunia harus menjadi perhatian bersama.

"Semua pihak harus mampu menciptakan kondisi yang kondusif agar pertumbuhan ekonomi dapat menopang stabilitas nasional di tengah ancaman gejolak ekonomi global dan tantangan tahun politik di dalam negeri," kata Lestari dalam sambutannya pada diskusi daring bertema Indikator Ekonomi Indonesia Q1 2023 dan Masa Depan USD yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (10/5).

 

Wanita yang akrab disapa Rerie itu menilai, pada kuartal I 2033 perekonomian nasional menunjukkan indikator yang cukup mengembirakan. Namun, berdasarkan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Dia mengatakan bahwa permasalahan dunia selepas pandemi akan semakin kompleks, karena selama tiga tahun pandemi dunia tidak dalam kondisi baik-baik saja.

Menyikapi kondisi tersebut, tambah Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, perlu upaya membangun sistem jaring pengaman karena yang kita hadapi adalah gejolak kondisi global.

Gejala global tersebut, ujar Rerie, dari sisi korporasi sudah mulai dirasakan dengan terjadinya gejolak mata uang dolar AS.

Sementera itu, Rektor Unika Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko mengungkapkan, meski pada kuartal I 2023 pertumbuhan ekonomi nasional cukup baik, namun para pakar ekonomi memperkirakan akan sulit pertumbuhan serupa akan berlanjut di kuartal-kuartal berikutnya.

Pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2023, menurut Agustinus, masih dipengaruhi pertumbuhan di akhir 2022 yang efeknya semakin melemah.

Padahal, tegas Agustinus, perekonomian Indonesia sebenarnya membutuhkan pertumbuhan lebih dari 6%-7% agar mampu lepas ancaman menjadi negara middle income trap.

"Apakah pemimpin baru Indonesia nanti bisa membawa warna baru sehingga kita memiliki peluang untuk lepas dari middle income trap, dengan mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi," ujar Agustinus.

Indonesia, tegas dia, membutuhkan pertumbuhan di sektor-sektor yang banyak menyerap tenaga kerja seperti sektor manufaktur dan pertanian, agar pertumbuhan ekonomi bisa didorong lebih tinggi.

Diakuinya, secara perlahan Amerika Serikat (AS) tidak akan mendominasi perekonomian dunia karena di dalam negeri mereka memiliki fundamental ekonomi yang kropos.

Sejumlah negara maju di Eropa dan AS perlahan terpuruk. Menurut Agustinus, seiring pergeseran pusat pertumbuhan ekonomi dunia ke Asia, sejumlah negara di Asia berpotensi menjadi negara maju, termasuk Indonesia.

Direktur Riset INDEF, Berly Martawardaya mengungkapkan sejumlah sektor di Indonesia yang tumbuh di bawah rata-rata saat ini adalah industri, pertambangan, pertanian dan perdagangan.

Untuk mendorong sejumlah sektor tersebut, ujar Berly, membutuhkan dorongan yang lebih besar. Diakuinya, dengan kondisi tersebut pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga dan keempat tahun ini akan lebih sulit.

Apalagi, tegas Berly, dua faktor pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini adalah good policy dan good luck. "Kita butuh good effort untuk ciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik,` ujarnya.

Terkait pengurangan pemakaian mata uang dolar AS, menurut Berly, harus diwaspadai peningkatan kebutuhan transportasi yang berdampak pada peningkatan penggunaan bahan bakar minyak (BBM), yang pengadaannya melalui impor.

Di sisi lain, tambah dia, harga minyak sawit yang merupakan andalan ekspor Indonesia harganya mulai turun.

"Harus segera dilakukan upaya peningkatan nilai tambah dan diversifikasi produk turunan kelapa sawit, sambil mengupayakan terus peningkatan pemanfaatan energi terbarukan di tanah air," ujar Berly.

Selain itu, tambah dia, dalam strategi pembiayaan investasi perlu diterapkan kebijakan local sattlement currency (LSC) dan local sattlement payment (LSP), untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.

Upaya impor dari Tiongkok, Malaysia dan Thailand yang sebesar 45% dari total impor Indonesia, ungkap Berly, bisa memanfaatkan kebijakan LSC.

 

FOLLOW US