• News

Gelora Minta Pemerintah Jangan Gunakan APBN untuk Menambah Beban Rakyat

Yahya Sukamdani | Kamis, 08/09/2022 11:37 WIB
Gelora Minta Pemerintah Jangan Gunakan APBN untuk Menambah Beban Rakyat Gelora Talk bertajuk Akhirnya Harga BBM Melambung Tinggi, Apa Dampaknya? di Jakarta Rabu (7/9/2022). Foto: tangkapan layar

JAKARTA - Pemerintah diingatkan dan diminta untuk berhati-hati dalam memitigasi dampak dari kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebab, langkah tersebut, bisa berujung pada perubahan besar yang akan terjadi di Indonesia.

"Tidak semua perubahan besar di dunia itu di rencanakan, bisa tidak direncanakan dan bisa datang tiba-tiba, termasuk apa yang terjadi di kita. Jadi kita perlu waspada, rendah hati dan hati-hati dalam memitigasi keadaan ini," kata Fahri Hamzah, Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia dalam Gelora Talk bertajuk `Akhirnya Harga BBM Melambung Tinggi, Apa Dampaknya? Rabu (7/9/2022).

Menurut Fahri, penderitaan masyarakat saat ini bertambah pilu, akibat dampak Covid-19 dan krisis global. Dimana pendapatan masyarakat tidak bertambah, namun  pengeluaran bertambah berkali lipat.

Sehingga hal ini akan berpengaruh pada neraca keluarga masyarakat Indonesia, meskipun pemerintah telah menyiapkan bantalan-bantalan sosial sebagai antisipasi dampaknya.

"Ketika pemerintah memutuskan pencabutan subsidi untuk penyelamatan APBN, itu membawa resiko besar. Berpengaruh pada neraca rumah tangga keluarga masyarakat Indonesia. Karena pendapatannya tidak  bertambah segitu-gitunya, tidak naik. Tetapi, pada saat yang sama ditekan dengan kenaikan harga BBM, sehingga menyebabkan inflasi tinggi dan menurunnya daya beli," ujarnya.

Seharusnya, kata Fahri, pemerintah tidak menggunakan instrumen APBN dijadikan alasan untuk menambah beban rakyat, karena pada saat yang sama pemerintah mendapatkan windfall atau `durian runtuh` dari keuntungan beberapa komoditas, disamping harga minya dunia saat ini sedang turun.

"Keputusan ini dianggap penuh dengan agenda di belakang layar, sembunyi-sembunyi dan tidak transparan. Dan kita sayangkan, anggota DPR-nya sejak Omnibus Law itu fungsi anggaran dan pengawasan dimatikan, sehingga tidak ada perdebatan. Persekongkolan mereka sudah sempurna, kekuatanya sudah tidak ada," ujarnya.

Sedangkan Andi Rahmat, Anggota DPR RI Periode 2004-2014 mengatakan, pemerintah seharusnya berani membeli minyak Rusia yang harganya lebih murah, sehingga bisa melakukan restrukturisasi belanja kompensasi, tidak perlu mencabut subsidi atau menaikkan harga BBM.

"Hanya saja apakah pemerintah berani menghambil resiko secara politik mengadapi tekanan Amerika. Ini harus didiskusikan di DPR agar ada solusinya soal ini, karena melibatkan banyak perspektif, tidak bisa pemerintah saja," kata Andi Rahmat.

Ia melihat DPR sekarang tidak mau mengambil resiko, dan menyerahkan sepenuhnya ke pemerintah untuk melakukan perubahan APBN melalui Perpres 2022.

"Jadinya budgeting DPR tidak sempurna, karena berdasarkan Perpres tidak perlu lagi didiskusikan, cukup dilaporkan saja. Jadi memang saya lihat teman-teman di parlemen sekarang ini buang resiko," katanya.

Mantan Anggota Komisi XI DPR ini mengatakan carut marut penyelamatan ABPN ini, harusnya diselesaikan melalui Panitia Khusus. Sebab, tidak ada penjelasan panjang lebar mengenai kedaruratan penyelamatan APBN, termasuk peningkatan belanja kompensasi.

 

Tidak Masuk Akal

Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal  menegaskan menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan mengancam akan melakukan aksi massa secara berkesinambungan.

Said Iqbal mengatakan kenaikan harga BBM tanpa dibarengi kenaikan upah adalah hal tidak masuk akal. Dia mengibaratkan hal itu seperti keajaiban dunia nomor 11 setelah Candi Borobudur.

"Tiga tahun berturut-turut, buruh dikendalikan oleh negara atas permintaan pengusaha melalui UU Omnibus Law UU Cipta Kerja. Udah nggak naik upahnya. Saya ini ILO Governing Body. Keajaiban nomor 11 di dunia setelah Candi Borobudur adalah upah enggak naik, BBM naik. Ini aneh," kata Said.

Ia mengatakan kenaikan harga BBM seharusnya diiringi dengan income per kapita atau upah yang

Menurut Presiden Partai Buruh ini,  apa yang dilakukan pemerintah saat ini membebani masyarakat, tidak hanya kelompok miskin.

Kenaikan BBM tersebut akan menurunkan daya beli yang sekarang ini sudah turun 30 persen. Dengan BBM naik, maka daya beli akan turun lagi menjadi 50%.

Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources (CERI) Yusri Usman mengatakan, pemerintah sebaiknya melarang Pertamina berbisnis Pertalite, jika tidak bisa efisien. Sebab, Pertalite adalah BBM penugasan setelah Premium sejak 10 Maret 2022, namun pengelolaan justru tidak efisien, membebani rakyat dan APBN.

"Dengan asumsi harga minyak mentah adalah USD 63 perbarel dan nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika adalah Rp 14.500. Tetapi semua asumsi itu meleset akibat perang Ukraina dengan Rusia," ujar Yusri.

Sehingga Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan  mengatakan bahwa kuota Pertalite pada September 2022 akan habis, karena besarnya konsumsi BBM hingga mencapai 1,5 juta kilo liter per hari, sehingga terjadi defisit BBM sekitar 400 ribu barel perhari yang harus diimpor.

"Pertamina sekarang ini tidak efisien dari sisi hulu dan hilirnya. Mereka tidak berani jawab ketika saya tanya, lebih murah mana beli minyak dari kilang minyak Singapura atau kilang Pertamina," katanya.

Terlepas dari hal itu, jika menurut perhitungan Kementerian Keuangan terhadap kebijakan harga BBM terbaru, setelah penyesuaian harga BBM Solar di SPBU Rp 6,800 perliter berdasarkan harga Keekonomian Rp 14,750 perliter, maka kompensasinya menjadi Rp 7,450 perliter dan subsidinya Rp 500 perliter.

Pertalite harga Keekonomian Rp 13.150 perliter dengan harga jual Rp 10.000 perliter, maka biaya kompensasinya Rp 3.150 perliter dari sebelumnya Rp 5,500 perliter, Pertamax 92 dengan harga Rp 14,500 perliter dengan subsidi ditanggung Pertamina Rp 924 perliter.

"Tapi yang masih menimbulkan tanda tanya besar adalah mengapa Peraturan Presiden nomor 191 tahun 2014 tentang Penyedian, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran BBM sudah lama di meja Presiden belum ditanda tangani sampai dengan hari ini, sehingga tidak ada payung hukum siapa yang berhak membeli Solar Subsidi dan Pertalite," ujarnya.

Sementara Pertamina sendiri sejak Juli hingga September 2022 telah merilis harga keekonomian Pertalite yang berkisar antara Rp 18.200 hingga Rp 18.700 perliter belum termasuk Pajak.

"Sehingga timbul pertanyaan, mengapa harga keekonomian Pertalite produk Pertamina sangat tinggi hingga mencapai diatas Rp 18.200 perliter belum termasuk pajak atapun sudah termasuk pajak ?" ujarnya.

Yusri menilai bisa jadi rilis yang dikutip Presiden Jokowi, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri ESDM Arifin Tasrif, Menteri BUMN Erick Tohir yang dikatakan ke masyarakat, jangan-jangan adalah harga Pertalite yang tidak sebenarnya, alias menyesatkan.

"Patut diduga Direksi Pertamina Holding telah memberikan informasi tidak utuh kepada Pemerintah, atau sebaliknya Pemerintah telah mendapat informasi seutuhnya dari Pertamina, tetapi disampaikan kepada masyarakat tidak seutuhnya, hal ini harus diluruskan.

Selain itu juga, pada 28 April 2020 CERI menemukan bukti juga bahwa Direksi Pertamina terkesan berbohong kepada Presiden dalam Rapat terbatas Kabinet dengan agenda Simulasi Harga BBM Disaat Pandemi Covid19, yaitu ketika saat itu Pertamina tidak menurunkan harga BBM nya di saat di seluruh dunia menurunkan harga BBM dibawah harga normal, karena harga minyak mentah berada dibawah USD 20 perbarel.

Untuk hal ini, harusnya menjadi kewajiban Dirjen Migas menurunkan tim audit untuk menelisik item-item dari hulu ke hilir untuk memeriksa kewajaran pembentuk harga atas semua jenis BBM Pertamina, bukan malah menegor badan usaha Vivo yang menjual Revo89 dengan harga murah.

Oleh sebab itu, CERI berkesimpulan bahwa diduga telah terjadi proses bisnis yang tidak efisien dari hulu ke hilir dari beberapa subholding Pertamina, selain adanya komorbid atau penyakit bawaan seperti kontrak LNG, PI Blok Migas di luar negeri, pola tender di ISC dan proyek Sinergi Inkorporasi di PHE bernilai USD 2.16 miliar dari total anggaran USD 5.9 miliar dan proses tender RDMP Pertamina yang membuat Biaya Pokok Produksi mulai hulu hingga hilir bisa menjadi lebih mahal, apalagi setelah struktur subholding terbentuk tidak menjadi lebih efisien.

 "Apakah wajar rakyat menanggung beban membeli BBM mahal akibat ketidak efisienan Pertamina. Maka jika Pertamina tidak bisa meringankan beban rakyat dan pemerintah, sebaiknya janganlah berbisnis Pertalite, biar diserahkan saja kepada swasta yang bisa memberikan harga termurah tidak membebani rakyat dan APBN," tegas Yusri Yusman.

FOLLOW US