• News

Pembangunan Infrastruktur Besar-Besaran Membuat Sri Lanka Ambruk

Akhyar Zein | Selasa, 12/07/2022 15:15 WIB
Pembangunan Infrastruktur Besar-Besaran Membuat Sri Lanka Ambruk Pekerja berjalan melewati penimbunan untuk Kota Pelabuhan Kolombo, yang dikembangkan oleh China Harbour Engineering Co., sebuah unit dari China Communications Construction Co., di Kolombo, Sri Lanka, pada Jumat, 30 Maret 2018.(foto: Bloomberg/ japan-forward.com)

JAKARTA - Krisis ekonomi di Sri Lanka bermula dari salah urus (mismanagement) negara itu dalam pembangunan infrastruktur besar-besaran tanpa perhitungan matang atau dorongan mengubah sistem pertanian tradisional ke organik, korupsi dan kegagalan membayar utang, demikian analisa sejumlah ekonom.

Pandemi Covid-19 dan kekhawatiran soal keamanan pasca serangan teror tahun 2019 yang menewaskan 260 orang membuat pariwisata yang menjadi sektor penting dalam pertumbuhan ekonomi negara itu mati suri.

Jatuhnya mata uang Sri Lanka hingga 80% – atau berarti 360 rupee per 1 dolar Amerika – membuat impor menjadi lebih mahal dan semakin memperburuk inflasi yang sudah tidak terkendali.

Menurut data resmi, harga makanan pokok telah naik 57%.

Sri Lanka, yang memiliki utang sebesar 51 miliar dolar, tidak dapat membayar bunga atas pinjamannya, apalagi mengurangi jumlah uang yang dipinjam. Negara berpenduduk 22 juta jiwa ini telah menangguhkan pembayaran pinjaman luar negeri bernilai sekitar tujuh miliar dolar yang jatuh tempo tahun ini, dari 25 miliar dolar yang harus dilunasi pada tahun 2026.

Walhasil Sri Lanka yang merupakan negara tropis dan biasanya tidak pernah kekurangan pangan, kini warganya mulai kelaparan. Program Pangan Dunia WFP mengatakan hampir sembilan dari sepuluh keluarga tidak makan sebagaimana mestinya atau menahan diri untuk tidak makan, sementara tiga juta warga menerima bantuan kemanusiaan darurat.

Semakin banyak pula warga Sri Lanka yang mengupayakan untuk mendapatkan paspor agar dapat pergi ke luar negeri untuk mencari pekerjaan. Sementara pegawai negeri sipil (PNS) diberi libur ekstra selama tiga bulan guna memberi mereka waktu untuk menanam tanaman yang dapat dikonsumsi keluarga mereka.

 

Tak Siap Antisipasi Gagal Bayar

Ekonom di Center for Reform on Economics (CORE), Piter Abdullah, mengatakan sebenarnya banyak negara yang juga dililit krisis ekonomi dan mengalami kesulitan membayar utang, tetapi Sri Lanka adalah yang terparah.

“Yang unik dari kasus Sri Lanka, dan menjadi pembelajaran bagi kita semua, adalah ketidaksiapan pemerintahnya mengantisipasi kegagalan pembayaran utang dan kebangkrutan ini sehingga tidak bisa melindungi perekonomian dan kebutuhan masyarakat. Ini diawali dari salah urus negara dan salah urus pengelolaan utang. Mereka berutang untuk kegiatan atau pembangunan yang tidak produktif. Mereka tidak memiliki struktur ekonomi yang kuat sehingga akhirnya tidak mampu membayar utang kembali,” jelasnya.

Sri Lanka menggantungkan harapan terakhir pada Dana Moneter Internasional IMF, yang ironisnya tidak memberikan dana talangan atau bailout secepat ketika menangani krisis ekonomi Yunani pada Juni 2013 lalu.

“Ini dikarenakan struktur ekonomi Yunani masih lebih kuat dari Sri Lanka dan ia didukung oleh Eropa karena kegagalan ekonomi Yunani berarti kegagalan ekonomi Eropa. Yunani di-back up Prancis dan Jerman yang mati-matian membela ekonomi Yunani, tetapi Sri Lanka tidak ada. Memang ada bantuan dari India, tetapi tidak cukup kuat,” tukasnya.

FOLLOW US