• Oase

Salah Tetapkan Hari Raya Islam, Maka Penguasa Tanggung Dosanya

Rizki Ramadhani | Jum'at, 08/07/2022 08:41 WIB
Salah Tetapkan Hari Raya Islam, Maka Penguasa Tanggung Dosanya Ilustrasi suasana Lebaran. (FOTO: DAILY MOTION)

Jakarta - Perayaan Idul Adha yang kerap disebut lebaran haji atau lebaran kurban, dirayakan pada setiap tanggal 10 Zulhijah, merupakan salah satu momen yang paling dinanti umat muslim.

Pemerintah atas nama Kementerian Agama RI menetapkan hari raya Idul Adha 10 Dzulhijjah 1443 Hijriah bertepatan dengan hari ahad atau Minggu 10 Juli 2022, setelah memantau hilal di 86 titik seluruh wilayah Indonesia.

Senada pula dengan keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) setelah melaksanakan rukyatul hilal bil fi’li  yang menjadi landasan penetapannya dan disokong dalil. Sementara itu, Muhammadiyah menetapkan pada hari Sabtu 9 Juli, berdasarkan hasil perhitungan wujudul hilal.

Mencermati besarnya potensi perbedaan penetapan hari ied di Indonesia, perlu kiranya kembali mengingat bahwa Rasul ﷺ sendiri yang mengatakan bahwa beliau ﷺ tidak mengenal hisab. Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim. Meskipun pada masa Nabi ﷺ sudah ada metode hisab tetapi beliau ﷺ tidak menggunakannya.

Cukup adanya saksi seorang muslim, baik laki-laki maupun perempuan dalam melihat hilal Ramadan, adapun selain Ramadan harus adanya dua saksi. Dengan ketentuan siapa saja yang melihat hilal hendaklah melaporkan hasil penglihatannya pada penguasa atau pemerintah yang memiliki wewenang menentukan dan mengumumkannya kepada khalayak ramai (kaum muslimin), sebagaimana Ibnu ‘Umar رضي الله عنه mengabarkan kepada Rasulullah ﷺ bahwa dirinya telah melihat hilal. Kemudian Rasulullah ﷺ berpuasa dan memerintahkan kaum muslimin untuk berpuasa.

Berdasarkan hadits shahih Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan Tirmidzi, “Puasa kalian ditetapkan tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian beridul adha.”

Karenanya banyak ulama menyatakan puasa dan hari raya hendaknya dilakukan bersama jama’ah, yaitu mayoritas masyarakat (bukan berhari raya hanya dengan masyarakat setempat ataupun kelompok tertentu) di bawah keputusan pemerintah kaum muslimin yang berkuasa.

Demikian pula fatwa dari para ulama yang duduk di Komisi Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa Kerajaan Saudi Arabia, menyatakan bahwa “…jika di negeri tersebut terjadi perselisihan pendapat, maka hendaklah dikembalikan pada keputusan penguasa muslim di negeri tersebut. Jika penguasa tersebut memilih suatu pendapat, hilanglah perselisihan yang ada dan setiap muslim di negeri tersebut wajib mengikuti pendapatnya. Namun, jika penguasa di negeri tersebut bukanlah muslim, hendaklah dia mengambil pendapat majelis ulama di negeri tersebut. Hal ini semua dilakukan dalam rangka menyatukan kaum muslimin..” (Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’no. 388, 10/101-103).

Adapun jika pemerintah salah dalam keputusan penentuan hari raya Islam, sebagaimana telah disebutkan dalam Shahih al-Bukhari, bahwa Nabi ﷺ bersabda tentang para penguasa, “Salatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka.”  (Majmu’ Fatawa 23/115-116).

Jadi, kesalahan dan kelalaian pemerintah, tidak ditanggung kaum muslimin yang tidak melakukan kelalaian atau kesalahan. (Majmu’ Fatawa 25-206).

Kesimpulannya, penetapan hari raya bukanlah wewenang golongan tertentu, bukan pula wewenang wong cilik maupun wong sugih. Yang berhak angkat suara dan memutuskan adalah pemerintah atas nama Kementrian Agama RI.

Maka, kembalikanlah keputusan hari raya kepada Pemerintah dan kaum muslimin tetap berpegang teguh dengan jama’ah (pemerintah dan mayoritas manusia) daripada berselisih, karena Allah ﷻ akan senantiasa bersama (yaitu memberi pertolongan) pada orang yang berpegang teguh dengan jama’ah.

Semoga Allah ﷻ memberi kita taufik dan hidayah kepada al-haq. (Kontributor : Dicky Dewata)

FOLLOW US