• Info MPR

Pentingnya Pancasila Pasca Dekrit 5 Juli 1945 Direaktualisasikan Dalam Bentuk yang Benar

Akhyar Zein | Rabu, 06/07/2022 11:40 WIB
Pentingnya Pancasila Pasca Dekrit 5 Juli 1945 Direaktualisasikan Dalam Bentuk yang Benar Hidayat Nur Wahid, saat menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional Dan Call For Papers, di Surakarta, Selasa (5/7/2022). (foto: Humas MPR)

JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI, Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid LC, MA., mengapresiasi Mahkamah Konstitusi (MK), yang  menegaskan kembali penolakan terhadap perkawinan beda agama. Sikap penolakan terhadap perkawinan beda agama, juga disampaikan oleh Pemerintah melalui wakilnya dalam persidangan di MK yaitu Menkumham dan Menteri Agama.

"Soal pengajuan peninjauan kembali tentang ketentuan Pernikahan beda Agama ke MK, hanyalah salah satu contoh betapa pentingnya Pancasila pasca Dekrit 5 Juli 1945 direaktualisasikan dalam bentuk yang benar. Agar rumah bangsa Indonesia ini selalu mendapatkan solusi yang konstitusional sesuai dengan ideologi Bangsa dan Negara. Yaitu, Pancasila,” kata Hidayat Nur Wahid menambahkan.

Pernyataan itu disampaikan Hidayat Nur Wahid, saat menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional Dan Call For Papers, kerjasama Sekretariat Jenderal MPR RI dengan Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah, dan Himpunan Indonesia Untuk Pengembangan Ilmu-ilmu Sosial. Tema yang dibahas pada seminar nasional tersebut adalah Aktualisasi Pancasila Dalam Mewujudkan Sistem Demokrasi Konstitusional Indonesia. Seminar nasional tersebut berlangsung di Surakarta, Selasa (5/7/2022).

Pada kesempatan itu, Hidayat mengingatkan, bahwa 5 Juli bertepatan dengan hari digelarnya Seminar Nasional, memang memiliki arti penting bagi bangsa dan negara Indonesia. Karena pada 5 Juli 1959, Presiden pertama Ir. Soekarno mengeluarkan dekrit presiden. Dekrit tersebut antara lain berisi tidak berlakunya UUDS 1950, serta berlakunya kembali UUD 1945.

"Sekalipun Seminar ini diselenggarakan pada 5 Juli, bertepatan dengan peristiwa Dekrit Presiden Soekarno yang pada 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekritnya, untuk antara lain kembali kepada UUD 45, bukan berarti Seminar ini mengajak Pemerintah untuk kembali kepada UUD 45 yang asli," ujar Hidayat.

Sebab selain kondisi politik dan sosialnya sangat berbeda, juga pastilah kalangan akademis yang paham Konstistusi secara baik dan benar, tidak mau melakukan hal yang inkonstitusional. Karena UUD 45 yang asli, tidak mengenal adanya Pemilu 5 tahun sekali, juga tidak mengenal adanya pembatasan masa jabatan Presiden. Kalau saat ini issunya dibawa kepada kembali ke UUD 45 yang asli, hal itu akan mudah ditunggangi oleh kepentingan politik jangka pendek untuk perpanjang masa jabatan Presiden 3 periode atau bahkan hingga tanpa batas sebagaimana yang ada dalam UUD 45 yang asli itu.

"Ini tidak sesuai dengan ketentuan baru dalam UUD NRI 1945 pasca amandemen. Karenanya saya berharap, justru dipilihnya tanggal 5 Juli untuk seminar nasional ini, untuk mengingatkan hikmah dari peristiwa Dekrit 5 Juli 1945. Antara lain untuk menemukan solusi berbangsa dan bernegara agar keluar dari deadlock, dan agar kita teguh dengan kesepakatan cita-cita Indonesia Merdeka dengan Pancasila sebagai dasar Negara. Sebagaimana kesepakatan Bapak-Bapak Bangsa yang berkompromi menyepakati hadirnya gentlement agreement, atau Piagam Jakarta yang juga disebut sebagai Pembukaan UUD 1945,” kata Hidayat menambahkan.

Hendaknya, seminar ini menggali hikmah dan sisi-sisi yang relevan dari dekrit itu untuk aktualisasi dan reaktualisasi Pancasila dalam semangat keyakinan Presiden RI. Yaitu, keyakinan Bung Karno, bahwa Piagam Jakarta yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila yang disepakati oleh BPUPK, dan disepakati oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 dalam rumusan finalnya sebagai dasar dan ideologi Negara.

Agar kehidupan demokrasi yang berdasarkan konstitusi dan UU, sesuai dengan semangat Pancasila yang dijiwai oleh Piagam Jakarta sebagaimana Dekrit Presiden 5 Juli 1945 yang mendapatkan persetujuan secara aklamasi, oleh seluruh anggota DPR hasil Pemilu tahun 1955 yang dinilai sebagai Pemilu yang paling bersih dan jujur.

"Agar, laku demokrasi konstitusional di Indonesia mencerminkan kesungguhan kejujuran melaksanakan semua sila dari Pancasila. Sehingga hadirlah demokrasi konstitusional dan solutif untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi dan Reformasi. Ketentuan ini jadi penting untuk terus dikaji dan disosialisasikan, apalagi MPR pada era Reformasi juga sudah memutuskan bahwa Pembukaan UUD 1945 yang di dalamnya ada rumusan Pancasila, tidak bisa dilakukan perubahan. Itu artinya dengan berlakunya Dekrit 5 Juli 1945, maka Pancasila yang menjiwai UUD 45 dan bagian tak terpisahkan dari Konstitusi, harus menjadi acuan saat ingin mempraktekkan demokrasi konstitusional di Indonesia,” pungkasnya.

FOLLOW US