• News

Sosiolog: Fasilitas Metropolis DIY Pemicu Kerusuhan Babarsari

Akhyar Zein | Rabu, 06/07/2022 11:19 WIB
Sosiolog: Fasilitas Metropolis DIY Pemicu Kerusuhan Babarsari Suasan mediasi antar sesepuh perwakilan pihak bertikai di Babarsati, di halaman Radio Sasando, Senin (4/7/2022). (foto: jogja.suara.com)

JAKARTA - Pola pertumbuhan di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah menyerupai kota metropolis, menurut sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajad Sulistyo Widhyharto pemicu munculnya kasus kerusuhan seperti di Babarsari, Sleman, Senin (4/7). 

Menurut Derajad wilayah Yogyakarta itu istimewa tetapi regulasinya tidak istimewa. Regulasinya seperti perkembangan kota Jakarta, Surabaya, dan lain-lain.

"Provinsi ini tidak tumbuh istimewa seperti masyarakatnya, seperti keratonnya, jadi ini tumbuh seperti kota metropolis," kata Derajad di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Yogyakarta, Selasa (5/7).

Sebagai kota pelajar Yogyakarta sebenarnya butuh ketenangan.

Yang perlu diperbanyak adalah fasilitas-fasilitas mahasiswa, seperti penyediaan co-working space, bukan justru fasilitas yang dapat mengundang konflik.

"Akan tetapi, kalau yang tumbuh kemudian adalah karaoke, hotel-hotel, apartemen `kan tidak ada bedanya dengan Jakarta, Surabaya, dan lain-lain," kata dia.

Regulasi yang ada di Yogyakarta semestinya harus terefleksi dari kondisi masyarakat, misalnya terkait dengan jam belajar di Yogyakarta yang kini tidak berlaku lagi.

Soal jam belajar ini, menurut dia, semestinya menjadi hal yang istimewa. Namun, sudah tidak diikuti lagi karena kota telanjur tumbuh seperti kota metropolis.

"Ke depan regulasi yang ada mestinya diadaptasikan dengan konsep istimewanya Yogyakarta. Kalau istimewa bagi pelajar adalah jam belajar, ini harus diperhatikan," kata dia.

Selain itu, aktivitas perekonomian di Yogyakarta semestinya tumbuh inklusif selaras dengan budaya di Yogyakarta yang sudah menerima perbedaan suku dan adat.

Dengan ekonomi Yogyakarta yang belum inklusif, menurut dia, menjadikan pertumbuhan kota sedikit bermasalah karena tidak berpijak pada kultur yang ada di tengah masyarakat.

"Justru yang kami lihat ekonomi di Yogyakarta `kan sepertinya merespons perkembangan kota besar, padahal kota-kota besar `kan kehidupan ekonominya cenderung eksklusif," kata dia.

Munculnya tempat-tempat hiburan seperti tempat karaoke, menurut dia, mestinya diikuti ketentuan yang ditaati atau dijunjung tinggi sehingga jika terjadi konflik ada yang menjadi penengah.

"Perbedaan dengan Bali, misalnya. Di Bali memiliki pecalang atau polisi adat. Meski tidak perlu seperti itu, setidaknya aparat pemerintah daerah mestinya cara berpikirnya sudah inklusi. Ini yang jadi masalah di Yogya, masyarakatnya sudah multikultur, inklusif tetapi bisnisnya belum inklusif. Ini yang harus diubah," ujar Derajad Sulistyo.

Sebelumnya, sejumlah ruko dan sepeda motor mengalami kerusakan akibat kerusuhan antarkelompok di kawasan Babarsari, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, DIY, Senin (4/7).

Polda DIY menduga kerusuhan tersebut merupakan buntut dari keributan antarkelompok yang terjadi di sebuah tempat karaoke di Babarsari.

FOLLOW US