• Bisnis

Pengusaha Angkat Bicara Sikapi Wacana Cuti Melahirkan 6 Bulan

Eko Budhiarto | Kamis, 23/06/2022 10:27 WIB
Pengusaha Angkat Bicara Sikapi Wacana Cuti Melahirkan 6 Bulan Ilustrasi

JAKARTA - Kalangan pengusaha angkat bicara tentang wacana cuti melahirkan enam bulan bagi karyawan wanita dan cuti 40 hari untuk suami.

"Pelaku usaha berharap agar pemerintah dan DPR melakukan kajian dan evaluasi yang mendalam dan komprehensif sebelum menetapkan UU tersebut karena menyangkut produktivitas tenaga kerja dan tingkat kemampuan dari masing masing pengusaha," kata Ketua Umum Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (Hippi) DKI Jakarta Sarman Simanjorang lewat keterangan di Jakarta, Kamis (23/6/2022).

Seperti diketahui, saat ini pemerintah dan DPR tengah menggodok RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA), yang salah satu pasalnya memuat hak cuti melahirkan enam bulan dan cuti suami selama 40 hari.

Menurut Sarman, psikologi pengusaha harus dijaga karena merekalah yang akan menjalankan kebijakan tersebut.

Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah itu menjelaskan UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah mengatur hak cuti hamil selama tiga bulan. Kebijakan tersebut pun sudah berjalan hampir 19 tahun di mana pelaku usaha menjalankan aturan tersebut tersebut dengan konsisten.

"Wacana cuti hamil selama enam bulan dan cuti suami 40 hari harus mempertimbangkan dari berbagai aspek mulai tingkat produktivitas, kemampuan pelaku usaha, dan dampak terhadap pelaku UMKM. Perlu suatu kajian yang mendalam apakah harus enam bulan atau cukup empat bulan misalnya, kemudian apakah cuti suami 40 hari juga menjadi keharusan," katanya.

Menurut Sarman, cuti dengan durasi panjang seperti itu dikhawatirkan akan mengganggu kinerja dan produktivitas karyawan tersebut di perusahaannya.

"Jangan sampai nanti pengusaha menyiasati pekerjanya menjadi pekerja kontrak karena harus mengeluarkan biaya operasional dalam bentuk gaji selama enam bulan terhadap pekerja yang mendapatkan cuti hamil," katanya.

Sarman pun mengingatkan agar kebijakan tersebut jangan sampai semakin menurunkan peringkat produktivitas tenaga kerja Indonesia yang jauh tertinggal.

Data dari Asian Productivity Organization (APO) yang dikeluarkan pada tahun 2020 menunjukkan posisi produktivitas pekerja Indonesia berada di urutan 107 dari 185 negara. Posisi Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia, dan berada di bawah rata rata tingkat produktivitas tenaga kerja enam negara ASEAN bahkan peringkat dunia.

Di sisi lain, berdasarkan data Kementerian koperasi dan UKM tahun 2019, tercatat jumlah tenaga kerja UKM sebanyak 119,6 juta orang setara dengan 96,92 persen total tenaga kerja Indonesia, dan sisanya 3,08 persen berasal dari usaha besar.

"Pelaku UMKM memiliki tenaga kerja antara satu hingga empat orang, bisa dibayangkan jika pekerja wanitanya cuti selama 6 bulan dan harus mengeluarkan gaji selama cuti tersebut apakah dari sisi finansial UMKM tersebut memiliki kemampuan?" tanyanya.

Oleh karena itu, Sarman meminta pemerintah dan DPR mempertimbangkan rencana tersebut agar bisa diterima oleh semua kalangan pelaku usaha.

"Dari sisi kesehatan tentu usulan kebijakan ini kita dukung, namun dampaknya harus dipikirkan dan bagaimana menyiasatinya. Kami juga berharap agar sinkronisasi RUU ini dengan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dilakukan secara cermat sehingga tidak menimbulkan dualisme kebijakan yang nantinya membingungkan pelaku usaha," katanya.

Sarman pun berharap pembahasan RUU KIA agar melibatkan pelaku usaha dari berbagai sektor dan kelas sehingga nantinya dapat merumuskan kebijakan dan tepat dan produktif.

 

FOLLOW US