• Gaya Hidup

Lesah Kuliner Istimewa Waisak, Akulturasi Budaya China Terlacak dalam Ekspedisi Laksamana Cheng Ho

Tri Umardini | Senin, 16/05/2022 17:01 WIB
Lesah Kuliner Istimewa Waisak, Akulturasi Budaya China Terlacak dalam Ekspedisi Laksamana Cheng Ho Nasi Lesah kuliner khas Magelang. Lesah Hidangan Istimewa Waisak, Akulturasi Budaya China yang Terlacak dalam Ekspedisi Laksamana Cheng Ho. (FOTO: YUMMY CO ID)

JAKARTA - Umat Buddha memperingati Hari Raya Waisak 2566 BE pada hari ini, Senin (16/5/2022).

Seperti umumnya pada hari raya yang identik dengan hidangan istimewa, umat Buddha khususnya di Kota Magelang juga memiliki kuliner khas yaitu Lesah.

Lesah merupakan sejenis soto dinikmati untuk segala cuaca, lezat disantap kala musim hujan, dan segar dinikmati ketika musim panas.

Dikutip dari Antara, Lesah juga bisa berperan sebagai makanan pembuka sebelum menikmati makanan yang lebih berat, tetapi bisa juga, dengan ditambah nasi, menjadi santapan mandiri yang mengenyangkan sesuai porsi.

Kesegaran kuah Lesah berasal dari santan yang pekat tipis dan dinaungi bumbu kuning semacam kari atau soto.

Ada terasa rempah-rempah "nggedibel" di lidah tetapi cepat berganti manis, khas masakan masyarakat pedalaman Jawa.

Rasa manis yang meledak di mulut cepat hilang dan berganti gurih yang umami.

Rasa Lesah tidak ada di masakan daerah lain, hanya ada di pedalaman Jawa seperti Magelang yang berhawa sejuk.

Menyantap Lesah bisa bikin kangen dan ketagihan mengulangi. Manis dari gula kelapa pilihan, bukan gula tebu atau perisa yang bisa menimbulkan enek dan "nyethak" di pangkal lidah.

Bicara tentang Lesah, barangkali bayangan akan terbawa kepada soto, laksa, atau sejenisnya.

Kuliner khas Magelang ini di samping mirip, bisa jadi memang sejenis soto yang punya beragam varian, sesuai daerah masing-masing. Misalnya soto Kudus, soto Semarang, soto Wonogiri, soto Madura, dan soto Padang.

Ada irisan sejarah Lesah dengan soto. Ada yang menyatakan soto akulturasi budaya China, terutama etnis pesisir negeri itu yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru.

Buku "Nusa Jawa: Silang Budaya" karya Denys Lombard menguatkan hal ini. Disebutkan bahwa soto berasal dari China yang dikenal dengan sebutan caudo atau jau to.

Kata dalam dialek Hokkian yang berarti rerumputan jeroan atau jeroan berempah.

Masa akulturasi awal budaya China ini terlacak dalam ekspedisi Laksamana Cheng Ho yang meninggalkan banyak jejak di berbagai penjuru Nusantara. Cheng Ho atau Zheng He, pelaut dan penjelajah Tiongkok yang ke Nusantara antara 1405 hingga 1433.

Terkait dengan asal-usul soto, ahli sejarah yang juga pensiunan dokter di Amerika Serikat, Anthony Hocktong Tjio, menyatakan pertama-tama perlu menelusuri bengawan riwayat pembentukan bangsa Indonesia, di mana asal-usulnya sampai India, tepatnya Tamil Nadu di India Selatan.

Ada pengaruh kebudayaan Hindu di Nusantara ketika terjadi migrasi besar-besaran dari India.

Ahli genetika dari Biomolekular Eijkman Institut, Herawati Sudoyo, dalam makalah bertajuk "Asal Usul Genetika Nenek Moyang Bangsa Indonesia" menyampaikan bahwa secara genetis, migrasi awal bisa jadi jauh lebih lama daripada masa Hindu pada akhir era sebelum Masehi tersebut.

Sekitar 2200 tahun lalu, saat masa Kerajaan Hindhu Kalinga India Selatan, terjadi migrasi besar-besaran ke Nusantara disebabkan peperangan dengan Kerajaan Maurya Maharaja Ashoka yang menganut Buddhisme.

Ada tiga golongan utama mencapai Nusantara, yakni pertama, ksatria (militer) yang mengolonisasi dan mendirikan kerajaan-kerajaan Dravidian, seperti Kerajaan Funan di Kamboja dan Kerajaan Kalinga di Sumatera dan Jawa.

Golongan kedua, waisya (pedagang) yang menemukan bahan mineral dan metal mulia di Nusantara sehingga menamakannya suwarnabumi dan suwarnadwipa (bumi dan pulau emas).

Mereka juga mendatangkan rempah-rempah untuk bahan kari. Boleh jadi, rempah-rempah itu juga memiliki riwayat tersendiri, terkait dengan asal-usulnya dari Nusantara. Terjadi arus balik rempah-rempah dalam wujud pemanfaatan atau produk ramuan.

Kari yang semula hanya untuk konsumsi orang sebangsanya dari India Selatan itu, kemudian tersebar dan memengaruhi kuliner Nusantara sampai sekarang.

Golongan ketiga, brahmana (pendeta). Mereka datang dengan misi penyebaran Hinduisme yang membawa kebudayaan dan ritual upacara.

Mereka mendirikan candi-candi, memperkenalkan sastra klasik dengan bahasa Sanskerta. Banyak lemanya kemudian menjadi dasar pembentukan bahasa Indonesia.

Bahasa itu juga dipakai untuk penamaan orang-orang Thailand, Kamboja, dan Jawa, nama tempat dan daerah hingga sekarang.

Bahkan, boleh dikatakan hampir semua nenek moyang bangsa Indonesia sekarang berasal dari Tamil India dengan adat istiadat, nama, bahasa, maupun segala kebiasaan makanan. Mereka juga membawa bumbu rempah-rempah, termasuk untuk soto.

Soto, pada dasarnya semacam sup kari ringan khas yang meluas di Madurai, daerah di pertengahan wilayah Tamil Nadu.

Sumber lain menyebut sup kari ringan pada umumnya dikatakan berasal dari daerah Nellai di Tirunelveli, sekitar 162 kilometer selatan Madurai, dekat Samudra Hindia di seberang Sri Lanka. Di sana nama sup kari ringan sebagai Sothi.

Beda Sothi asli dari Madurai dengan beragam varian soto di Nusantara hanya di bahannya, salah satunya karena ajaran Hindhu yang tidak makan daging sapi, maka Sothi diganti dengan bahan lain setempat dan lain sebagainya, tetapi masih segaris dalam alur bentuk dan rasanya.

Magelang salah satu daerah atau tempat persinggahan dalam jalur migrasi penduduk dari India ke Nusantara.

Disebutkan dalam buku "Hindu-Javaansche Geschiedenis" karangan Krom, N.J. yang terbit pada 1931, tentang Prasasti Tukmas. Dalam prasasti tertua itu menyebutkan adanya pengaruh budaya Hindu India di sekitar Magelang.

Dengan kata lain, Magelang sebagai titik singgah mempunyai beragam peninggalan budaya, baik bersifat bendawi seperti candi-candi maupun tak bendawi, termasuk aneka resep kuliner.

Contohnya, dari Tamil India Selatan dan Sri Lanka, sup Sothi yang setelah mendapat modifikasi kreatif bangsa, kemudian menjadi makanan rakyat nasional Indonesia yang disebut soto.

Melihat beragam referensi sejarah tersebut, mungkin dimengerti bahwa Lesah yang populer di Magelang itu, salah satu jenis soto varian awal, pada masa awal migrasi dan pengaruh kebudayaan Hindu.

Banyak warung menjual Lesah di sudut-sudut Kota Magelang. Dari warung dengan tata tempat duduk di kursi sebagaimana resto-resto pada umumnya sampai berupa lesehan di pinggir jalan, bisa ditemukan di berbagai penjuru Magelang.

Sebagaimana diketahui bahwa Lesah adalah kosakata bahasa Jawa yang maknanya orang dalam kondisi lelah dan loyo, kemudian duduk santai sejenak supaya tubuh menjadi lebih baik dan segar. (*)

 

 

FOLLOW US