• Info MPR

Segera Isi Kekosongan Hukum Mengenai LGBT

Akhyar Zein | Kamis, 12/05/2022 15:45 WIB
Segera Isi Kekosongan Hukum Mengenai LGBT Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (foto: mpr.go.id)

JAKARTA - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengkritik narasi yang menyebut bahwa di alam demokrasi Pemerintah tidak bisa melarang LGBT. Alasannya, karena tidak ada aturan hukum yang melarang atau memberikan sanksi terhadap LGBT.

Padahal, Dedy Corbuzier yang memantik kontroversi soal LGBT, ini malah merespons positif kritik dan penolakan massif dari masyarakat dengan mentake down tayangannya, dan mengaku salah serta meminta maaf.

Bila benar ada kekosongan hukum yang diperlukan, kata Hidayat sewajarnya sebagai negara hukum, maka pihak-pihak yang berkewenangan segera mengisinya dengan membuat aturan UU baik DPR maupun Pemerintah dengan melakukan inisiatif mengajukan usulan RUU untuk mengisi “kekosongan hukum” ini. 

Pembiaran atau legalisasi LGBT dengan penyimpangan seksualnya, sudah dari dulu diantisipasi oleh FPKS DPRRI. Sayangnya sikap dan usulan antisipatif dan konstruktif FPKS tidak didukung oleh Fraksi-Fraksi yang lain. Juga tidak didukung oleh Pemerintah, sehingga FPKS menolak pengundangan RUU tersebut.

Inilah dampak langsungnya. Ketika terjadi kasus LGBT, Pemerintah dengan dalih demokrasi dengan entengnya menyebut tidak ada aturan hukum yang melarang.

"Harusnya Pemerintah dan DPR sadar ada masalah yang perlu diberikan solusi hukum dengan mengisi “kekosongan hukum” tersebut, baik dengan memperbaiki UU TPKS atau mengundangkan revisi UU KUHP atau membahas dan mengundangkan Rancangan Undang-Undang Anti-Propaganda Penyimpangan Seksual untuk diprioritaskan dibahas oleh DPR dan Pemerintah, sebagai upaya membentengi masyarakat dan negara dari propaganda dan laku penyimpangan seksual seperti yang dilakukan kalangan LGBT,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Kamis (12/5/2022).

Kebutuhan atas RUU tersebut menurut HNW sangat mendesak, apabila melihat banyaknya kasus serta reaksi masyarakat luas yang menolak Podcast Deddy Corbuzier.

“Ini mestinya segera direspon dengan baik dan penuh tanggungjawab, baik oleh DPR maupun Pemerintah selaku lembaga yang berhak untuk mengusulkan dan bersama-sama membentuk undang-undang,” ujarnya.

Kalau pemerintah dan DPR tidak mau memperbaiki UU TPKS sebagaimana diusulkan oleh FPKS, kata HNW bisa juga dengan segera membahas dan mengundangkan RUU Anti-Propaganda Penyimpangan Seksual yang diperjuangkan oleh Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) long list 2020-2024.

“Sebenarnya RUU ini sudah disuarakan oleh Ketua Fraksi PKS sejak 2016 lalu. Tinggal bagaimana fraksi2 lain di DPR dan Pemerintah berkomitmen untuk memprioritaskan membahas dan mengundangkan RUU ini,” tukasnya.

“Pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD bahwa propaganda di Podcast Deddy Corbuzier tidak bisa dijatuhi sanksi, karena ada kekosongan hukum, mestinya bukan membiarkan apalagi menjustifikasi laku menyimpang yang dulu pernah dikritik keras oleh Prof Mahfud sendiri. Jangan dibiarkan dengan alasan demokrasi dan tak ada aturan hukum yang bisa menjerat, kalau Dedy Corbuzier saja menyadari ada kesalahan dan meminta maaf, maka untuk menghindari hukum jalanan atau skeptisme Rakyat, mestinya kekosongan hukum itu segera diisi, bukan dibiarkan terus kosong yang mengesankan pembiaran,” jelasnya.

HNW mengingatkan, ada sejumlah undang-undang sekalipun bukan lex specialis, tapi bisa digunakan untuk sementara mengisi ‘kekosongan hukum’ tersebut. Misalnya, Pasal 292 KUHP, UU Pornografi, dan UU ITE yang menyangkut kejahatan kesusilaan atau aturan asusila.

“Ketentuan-ketentuan itu memang berlaku untuk umum. Tapi sambil menunggu diundangkannya ketentuan hukum yang khusus mengatur soal sanksi dan larangan penyimpangan LGBT, mestinya norma Pancasila dan aturan hukum yang bersifat umum itu disosialisasikan sebagai edukasi untuk masyarakat, sebagai tindakan prefentif untuk mencegah berlanjutnya laku seks menyimpang LGBT tersebut, sebagai bukti kehadiran negara melaksanakan kewajibannya untuk melindungi seluruh Rakyat Indonesia. Sebagaimana ketentuan UUD 1945, termasuk dari penyimpangan yang dilakukan oleh kelompok LGBT dan propagandisnya,” pungkasnya.

FOLLOW US