• Info MPR

HNW : Pemerintah Mestinya Menguatkan BNPB, Bukan Melemahkan

Akhyar Zein | Kamis, 14/04/2022 13:35 WIB
HNW : Pemerintah Mestinya Menguatkan BNPB, Bukan Melemahkan Wakil Ketua MPR-RI sekaligus Anggota DPR-RI Komisi VIII Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA (foto: suara.com)

JAKARTA - Wakil Ketua MPR-RI sekaligus Anggota DPR-RI Komisi VIII Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA, mengkritisi sikap Pemerintah yang ingin menghapuskan nomenklatur Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam rencana Revisi UU Penanggulangan Bencana.

Karena keinginan pemerintah itu membuat pembahasan RUU Penanggulangan Bencana bersama Komisi VIII DPRRI mengalami deadlock. Dan akhirnya dihentikan pembahasannya di tingkat I pada Raker antara Komisi VIII DPR-RI dengan Pemerintah dan DPD RI, Rabu (13/4/2022).

“Indonesia dipahami sebagai Negara cincin api (ring of fire), maka di tengah banyaknya bencana alam dan non-alam, yang terjadi sepanjang tahun, semestinya kelembagaan BNPB diperkuat, bukan diperlemah baik kelembagaan maupun sistem kerja dan anggarannya. Misalnya dengan diturunkan statusnya dari UU menjadi level Perpres (Peraturan Presiden). Kami menyayangkan sikap Pemerintah tersebut, yang menunjukkan lemahnya komitmen dalam hal penanggulangan bencana," ujarnya.

"PKS bersama semua Fraksi di Komisi VIII DPR sepakat agar dengan revisi UU itu maka posisi BNPB diperkuat, baik dari struktur organisasinya, kewenangan dan anggarannya, ” disampaikan Hidayat setelah Raker RUU Penanggulangan Bencana secara hybrid antara Komisi VIII DPR-RI dengan Kemensos dan DPD RI, Rabu (13/4/2022).

Hidayat menilai, penjelasan Pemerintah yang diwakili Menteri Sosial Tri Rismaharini bahwa kelembagaan penanggulangan bencana akan dibuat lebih kuat dan fleksibel melalui Peraturan Presiden, justru bertentangan dengan kebutuhan di lapangan. Apalagi dengan logika hierarki hukum yang berlaku di Indonesia. Karena menurut Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7 ayat (1) dengan jelas mencantumkan bahwa posisi hierarkis Undang-Undang berada dua tingkat di atas Peraturan Presiden.

“Artinya jika nomenklatur BNPB yang tadinya berada di UU kemudian dipindahkan ke Perpres, itu jelas namanya pelemahan, bukan fleksibilitas,” sambungnya.

Selain soal nomenklatur BNPB, deadlock pembahasan RUU Penanggulangan Bencana antara Pemerintah dan komisi VIII DPR-RI juga terjadi lantaran Pemerintah menolak usulan Komisi VIII DPR-RI yang juga didukung oleh DPD-RI perihal penetapan alokasi 2% APBN untuk penanganan bencana.

Faktanya, menurut Komisi VIII DPRRI, hampir seluruh wilayah Indonesia terpapar risiko atas lebih dari 10 bencana alam maupun non alam, dan kerugian ekonomi per tahun berkisar Rp 20-30 Triliun. Sementara alokasi dana penanggulangan bencana selama ini baru berkisar Rp 3-10 Triliun setiap tahun.

“Dampak dari kurangnya anggaran bencana di antaranya adalah minimnya upaya mitigasi, banyaknya infrastruktur rusak yang tak segera diperbaiki, tidak maksimalnya kebijakan atasi bencana, dan lemahnya komitmen membantu masyarakat korban bencana sehingga masyarakat terdampak bencana masih banyak yang harus menetap di hunian sementara hingga kini,” lanjutnya.

Seluruh Fraksi di Komisi VIII DPR kompak, bersama-sama perjuangkan kemaslahatan bagi Bangsa dan Negara. Bahkan didukung oleh DPD, memperkuat BNPB, agar bisa lebih efektif mengatasi masalah kebencanaan alam maupun non alam di Indonesia. Sayangnya, Pemerintah yang mestinya paling depan mendukung usaha tersebut dengan menguatkan BNPB, malah menolak.

"Semoga Rakyat Indonesia memahami masalah ini, dan dijaga Allah Tuhan YME dari segala macam bencana baik alam maupun non alam,” pungkasnya.

FOLLOW US