Pokja Akui Intervensi Program Gizi dalam Penanganan Stunting di NTT Belum Optimal

. | Rabu, 23/03/2022 16:16 WIB
Pokja Akui Intervensi Program Gizi dalam Penanganan Stunting di NTT Belum Optimal Grafis kasus stunting di Nusa Tenggara Timur.

KUPANG--Kelompok Kerja Percepatan Pencegahan dan Penanganan Stunting Angka Kematian Ibu (AKI)-Angka Kematian Bayi (AKB) Provinsi NTT mengakui jika intervensi program gizi dalam penanganan stunting di 22 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur telah dilakukan namun belum optimal.

Hal ini diungkapkan Ketua Pokja Percepatan Pencegahan dan Penanganan Stunting AKI-AKB Provinsi NTT, Sarah Lerry Mboeik kepada media ini, Rabu (23/3/2022).

"Ada beberapa hal yang menjadi kendala antara lain kesadaran masyarakat terhadap permasalahan stunting juga dapat dilihat dengan masih rendahnya kehadiran orang tua membawa balita ke posyandu," kata Lerry Mboeik.

Padahal kata Lerry Mboeik, pemeriksaan di posyandu sangat penting untuk dipantau pertumbuhan setiap bulan
sebagai deteksi dini terhadap status gizi balita baik stunting, gizi buruk dan gizi kurang.

Selain itu kata mantan anggota DPD RI ini adalah belum optimalnya kehadiran balita datang ke posyandu untuk ditimbang dan diukur panjang/tinggi badan sebagai dasar penentuan status gizi balita untuk pemenuhan data by name by address.

"Ketersediaan alat ukur terstandar (Antropometri KIT) di posyandu masih kurang, masih dipinjam/dipakai
bergilir dari milik puskesmas," katanya.

Ia menambahkan bahwa tingginya jumlah ibu hamil kurang energi kronis yang berpeluang melahirkan anak yang berat lahir rendah.

Menurut Lerry Mboeik, dukungan lintas sektor secara sensitif dalam pencegahan dan penanganan stunting belum optimal terutama dukungan dalam penyediaan akses terhadap pangan dan akses sanitasi dan air bersih.

"Begitu pula akses pembelajaran yang dimulai dari usia dini anak sekolah, pengendalian jumlah anak untuk setiap keluarga," ujarnya.

"Selain itu pula keterbatasan dalam kepemilikan jaminan kesehatan bagi sebagaian masyarakat sebagai akibat dari
belum adanya kartu identitas kependudukan," tambahnya.

Sementara pengetahuan dan keterampilan ibu balita jelas Lerry Mboeik, dalam menyiapkan makan terutama bagi anak usia 6-59 bulan belum maksimal.

Strategi dan Solusi

Pokja Percepatan Pencegahan dan Penanganan Stunting AKI-AKB Provinsi NTT jelas Lerry Mboeik menawarkan strategi dan solusi untuk mengatasi masalah tersebut.

Solusi tersebut antara lain kata dia, advokasi kepada perangkat desa dan kecamatan bersama Tim Penggerak PKK untuk menggerakan masyarakat membawa balita ke posyandu sehingga seluruh balita di setiap wilayah bisa dipantau
pertumbuhannya.

Kegiatan rutin ini lanjut Lerry Mboeik, sebagai deteksi awal terhadap balita kurang gizi termasuk stunting
sebagai bentuk pencegahan dan penanganan stunting.

"Strategi lain berupa kader bersama PKK desa mendampingi setiap keluarga sasaran anak usia 6-24 bulan dalam penyiapan makanan pendamping ASI," ujarnya.

Lerry menyebut pemberian makanan tambahan sebagai upaya jangka pendek untuk memastikan status ibu hamil Kekurangan Energi Kronik (KEK) menjadi normal. Pemberian PMT dapat berupa protein hewani dan nabati (telur dan kacang-kacangan).

Pokja juga kata Lerry, menawarkan soluasi berupa mengajarkan ibu balita tentang menu makan gizi seimbang dan adekuat untuk pencegahan dan penanganan stunting.

Ironisnya kata Lerry Mboei yang adalah mantan aktifitas anti korupsi ini menyebut bahwa dari 22 kabupaten/kota di NTT (lihat grafis) ternyata Kota Kupang cakupan paling rendah yaitu tidak mencapai 50% anak yang di ukur status gisinya.

FOLLOW US