• News

Pemerintah Putuskan Seret Kasus Satelit Kemhan ke Pengadilan

Yahya Sukamdani | Minggu, 16/01/2022 15:36 WIB
Pemerintah Putuskan Seret Kasus Satelit Kemhan ke Pengadilan Menkopolhuhkam Mahfud MD. Foto: republika.co.id

JAKARTA – Pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD memutuskan membawa kasus satelit slsot 123 derajat bujur timur (BT) Kementerian Pertahanan (Kemhan) ke pengadilan. Kasus tersebut diduga merugikan keuangan negara hingga ratusan miliar rupiah. Indikasi korupsi pun tercium di proyek setelit tahun 2015 tersebut.

“Saya putuskan agar (kasus satelit slot 123 BT, red.) diproses secara hukum,” ujar Mahfud MD dalam postingan akun Instagram resminya yang dikutip katakini.com di Jakarta, Minggu (16/1/2022).

Kasus satelit Kemhan ini bemula saat terjadi kekosongan dalam di slot orbit 123 derajat BT usai Satelit Garuda 1 keluar orbit pada 19 Januari 2015. Satelit Garuda 1 telah merampungkan tugasnya selama 15 tahun, sejak diluncurkan pada 12 Februari 2000.

Saat itu, Satelit Garuda dioperasikan oleh AceS, perusahaan internasional yang dimiliki bersama oleh PT Pasifik Satelit Nusantara (PSN), Lockheed Martin Global Telecommunication (LMGT), Phillippine Long Distance Company (PLDT) dan Jasmine Internasional Public Company Ltd. Satelit ini mengorbit di atas langit Sulawesi.

Setelah kekosongan terjadi, sejumlah upaya dilakukan agar orbit bekas satelit tersebut tak jatuh ke negara lain. Sebab, berdasarkan ketentuan dari International Communication Union (ITU), sebuah badan di bawah PBB yang bertanggung jawab di bidang telekomunikasi dunia, negara yang telah diberi hak pengelolaan satelit akan diberi waktu untuk mengisi kembali orbit dengan satelit lain dalam waktu 3 tahun.

Kemhan kemudian mengajukan hak pengelolaan atas slot orbit satelit 123 derajat BT tersebut. Program yang dibawa Kemhan bernama Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan). Namun, Kemhan mengadakan kontrak sewa satelit floater (satelit sementara pengisi orbit) dengan Avanti Communications Ltd untuk mengisi Slot Orbit 123 derajat BT.

Akhirnya Avanti menempatkan Satelit Artemis pada orbit 123 derajat BT pada November 2016. Terkait pembangunan satelit Satkomhan, Kemhan menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat. Namun, diduga ada penyimpangan yang terjadi, sehingga negara mengalami kerugian.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Febrie Ardiansyah, menyampaikan ada sejumlah perbuatan diduga melawan hukum yang terjadi dalam prosesnya.

Salah satunya, kata Febrie, proyek ini tidak direncanakan dengan baik. Sebab, saat kontrak dengan sejumlah perusahaan tersebut, anggaran tak tersedia dalam DIPA Kemhan 2015. Kemhan tak punya anggaran penyewaan satelit tersebut.

Selain itu, Febrie menyebut penyewaan satelit Artemis dari Avanti pun sejatinya tidak diperlukan. Sebab, negara mempunyai waktu tenggang paling lama 3 tahun untuk mengisi slot tersebut. Tak harus diisi saat satelit tersebut keluar orbit.

"Seharusnya saat itu kita tidak perlu menyewa satelit tersebut karena di ketentuannya saat satelit yang lama tidak berfungsi masih ada waktu 3 tahun. Masih ada tenggang 3 tahun tetapi dilakukan penyewaan," papar Febri dalam konferensi pers di kantornya, Jumat (14/1/2022).

Kejanggalan lainnya, Kemhan digugat di pengadilan arbitrase yang salah satunya dilayangkan oleh Avanti. Avanti menuding Kemhan melalukan wanprestasi karena tak membayar nilai sewa sesuai dengan kontrak yang ditandatangani. Kemhan tidak dapat memenuhi pembayaran sewa satelit sejak akhir tahun 2016 sampai dengan 2017 sesuai kontrak.

Setelah berbagai upaya negosiasi dilakukan oleh Kemhan menemui kegagalan, maka Avanti secara resmi mengajukan gugatan.

Gugatan tersebut dilayangkan pada 10 Agustus 2017 melalui LCIA (London Courts of International Arbitration) dan mengeluarkan Satelit Artemis dari Slot Orbit 123 derajat BT pada Bulan November 2017.

Saat itu, Kemhan mengambil dua strategi dalam menghadapi gugatan dari Perusahaan Avanti Communication. Strategi pertama yakni non-litigasi, yakni penyelesaian melalui jalur perdamaian atau negosiasi. Cara negosiasi ini sempat diungkapkan Menhan saat itu, Ryamizard Ryacudu. Sementara strategi kedua yakni litigasi, berupa penyelesaian melalui jalur hukum.

Di sela proses hukum di pengadilan arbitrase, yakni pada 2018, Kemhan mengembalikan lagi hak pengelolaan slot orbit 123 derajat BT kepada Kominfo.

Tender dilakukan, dan berdasarkan laman Asia Pacific Satellite Communications Council, dimenangkan oleh PT Dini Nusa Kusuma (DNK). Dalam laman tersebut, satelit DNK meluncur pada pertengahan 2022.

Terlepas dari pengelolaan slot satelit yang kembali ke tangan Kominfo, pada 9 Juli 2019, Pengadilan Arbitrase menjatuhkan putusan bahwa Negara harus membayar sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar. Alhasil, Negara pun mengeluarkan pembayaran dengan nilai Rp 515 miliar.

Putusan pengadilan arbitrase inilah yang kemudian dinilai oleh Kejagung sebagai bentuk kerugian negara.

Mahfud juga mengatakan, selain bermasalah dengan Avanti, Kemhan juga bermasalah dengan pihak Navayo. Mahfud menyebut, Navayo yang juga telah menandatangani kontrak dengan Kemhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance. Namun barang tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017.

Navayo kemudian mengajukan tagihan sebesar USD 16 juta kepada Kemhan. Pemerintah menolak untuk membayar sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura.

Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura tanggal 22 Mei 2021, Kemhan diwajibkan membayar USD 20.901.209 (sekitar Rp 298 miliar) kepada Navayo.

"Selain keharusan membayar kepada Navayo, Kemhan juga berpotensi ditagih pembayaran oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells, dan Telesat, sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi," ungkap Mahfud.

Total kerugian negara akibat berbagai kasus tersebut hingga Rp 800 miliar dan ditaksir bakal bisa bertambah lagi.

Saat ini, perkara tersebut sudah masuk tahap penyidikan. Penyidik kini sedang mengumpulkan bukti untuk menjerat tersangka yang paling bertanggung jawab.

Terdapat 11 orang yang diminta keterangannya. Termasuk pihak swasta, pelaksana, maupun pejabat pemerintahan di Kemhan.

Febrie mengatakan, Kejagung bekerja sama dengan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit terkait penyewaan satelit itu. Hal tersebut untuk menguatkan alat bukti yang dimiliki Kejagung terkait indikasi pidana dalam penyewaan tersebut.

Selain itu, pengusutan kasus ini juga atas koordinasi dengan Jaksa Agung Muda Pidana Militer (JAMPidmil) Anwar Saad. Sebab beberapa saksi yang diperiksa melibatkan TNI.

Jampidsus juga menyampaikan tidak menutup kemungkinan memeriksa Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu yang menjabat pada saat kasus ini terjadi.

“Kita profesional, kita akan melihat terhadap pihak-pihak yang menguatkan pembuktian,” ucap Febrie.

FOLLOW US