• News

Inflasi Turki Capai Angka Tertinggi dalam 19 Tahun

Yati Maulana | Selasa, 04/01/2022 14:31 WIB
Inflasi Turki Capai Angka Tertinggi dalam 19 Tahun Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan menyambut pasukan Turki selama kunjungannya di pangkalan gabungan Komando Gabungan Qatar-Turki di Doha, Qatar, 15 November 2017. (Foto: Anadolu Agency)

JAKARTA - Tingkat inflasi tahunan Turki melonjak ke level tertinggi dalam 19 tahun, yang kian menggambarkan gejolak keuangan negara itu sekaligus menimbulkan peringatan atas kebijakan presidennya. Harga-harga naik hingga lebih dari 36 persen pada bulan Desember, seiring biaya transportasi, makanan, dan bahan pokok lainnya menghabiskan sebagian besar anggaran rumah tangga.

Kebanyakan bank sentral di dunia akan menaikkan suku bunga untuk membantu mengerem inflasi namun Turki tidak melakukannya. Presiden Erdogan menyatakan bahwa sebagai seorang Muslim ia tidak mendukung kenaikan suku bunga. Dia pun menggambarkan suku bunga sebagai "ibu dan ayah dari segala kejahatan." Pemerintah menggunakan kebijakan-kebijakan yang tidak ortodoks untuk mencoba meredam harga termasuk campur tangan di pasar valuta asing.

"Mereka mengeluh kami terus memangkas suku bunga. Jangan harap yang lain dari saya," kata Erdogan seperti dirilis dari BBC. "Sebagai seorang Muslim, saya akan tetap menjalanan ajaran agama kami. Ini adalah perintah."

Berdasarkan syariat Islam, Muslim dilarang menerima atau memetik bunga pinjaman. Ini berarti jatuhnya nilai lira, karena Tayyip Erdogan memprioritaskan ekspor daripada stabilitas mata uang.

Nilai tukar lira terhadap dolar turun 44 persen dari tahun lalu, dan turun persen lagi pada hari Senin sebelum kembali ke nilai semula. Penurunan lira membuat harga impor, yang memicu inflasi, meenjadi lebih mahal, mulai dari energi hingga banyak bahan baku yang diubah para produsen di Turki menjadi barang ekspor.

Dalam sebuah pidato pada Senin, 3 Januari 2022, Erdogan mengatakan Turki "akan melalui transformasi ekonomi dan bangkit ke liga berikutnya". Dia mengatakan negara itu "menuai buah terutama dalam ekspor hasil usaha dan kerja keras negara kita dalam 20 tahun terakhir untuk meningkatkan perdagangan luar negeri kita".

Seorang ekonom memperkirakan bahwa inflasi dapat mencapai 50 persen pada musim semi jika arah kebijakan moneter tidak dibalik. "Suku bunga harus segera dan secara agresif dinaikkan karena ini mendesak," kata Ozlem Derici Sengul, mitra pendiri di Spinn Consulting, Istanbul. Tapi dia paham bahwa bank sentral mungkin tidak akan bertindak.

Erdogan merombak kepemimpinan bank sentral pada tahun lalu. Bank telah memangkas suku bunga menjadi 14 persen dari 19 persen sejak September. Langkah itu diikuti lonjakan harga dan penurunan nilai tukar lira, yang telah mengubah anggaran rumah tangga dan perusahaan.

Bulan lalu, muncul gambar orang-orang yang mengantre untuk roti bersubsidi di Istanbul, di mana biaya hidup naik 50 persen dalam setahun, menurut pejabat setempat. Biaya hidup diperkirakan akan meningkat lebih lanjut, terutama setelah kenaikan harga listrik dan gas baru-baru ini masing-masing sekitar 50 persen dan 25 persen.

Bank sentral berargumen bahwa faktor sementara telah mendorong kenaikan harga, dan memperkirakan pada bulan Oktober bahwa Turki akan menutup 2021 di angka 18,4 persen. Target inflasi resmi bank sentral adalah lima persen, tetapi angka sebenarnya selalu dua digit selama dua tahun terakhir.

Untuk mengerem jatuhnya lira, Erdogan meluncurkan skema tiga minggu lalu di mana negara melindungi deposito lokal yang dikonversi dari kerugian versus mata uang keras. Itu memicu kenaikan tajam nilai tukar lira hingga 50 persen dengan dukungan bank sentral.

Tetapi lira kemudian tenggelam lagi pekan lalu, mendorong Presiden Erdogan menyampaikan seruan pada hari Jumat agar masyarakat menyimpan semua tabungan mereka dalam lira dan memindahkan emas ke bank.

Gejolak ekonomi telah mencederai nilai Presiden Erdogan dalam berbagai jajak pendapat menjelang pemilihan yang dijadwalkan paling lambat pada pertengahan 2023.

Kebijakan tak lazim
Alasan sederhana keterpurukan lira adalah kebijakan ekonomi tak lazim yang ditempuh Erdogan, yakni mempertahankan suku bunga rendah untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi Turki dan potensi ekspor dengan nilai tukar yang kompetitif.

Bagi banyak ekonom, jika inflasi naik yang dilakukan untuk mengendalikannya adalah menaikkan bunga. Tapi Presiden Erdogan Erdogan memandang suku bunga sebagai "keburukan yang membuat si kaya semakin kaya dan si miskin semakin miskin."

"Semua serba mahal," kata Sevim Yildirim kepada BBC di sebuah pasar buah. "Dengan harga seperti ini, tak mungkin bisa menyediakan makanan utama untuk keluarga."

Inflasi tahunan meningkat di atas 21 persen di Turki, tetapj Bank Sentral Republik Turki, dikendalikan oleh Erdogan, hanya menurunkan suku bunga dari 16 persen ke 15 persen, pemotongan ketiga tahun ini.

Inflasi meningkat di seluruh dunia, dan bank sentral di masing-masing negara membicarakan kenaikan suku bunga. Tidak demikian di Turki, karena Presiden Erdogan yakin inflasi pada akhirnya akan turun.

Dalam tempo dua tahun ia telah memecat tiga presiden bank sentral dan baru pekan ini ia mengganti menteri keuangan. Jadi nilai tukar lira terus merosot.

Harga meroket
Perekonomian Turki tergantung pada impor untuk memproduksi barang-barang mulai dari makanan hingga tekstil sehingga kenaikan nilai dolar berdampak langsung pada harga barang-barang keperluan sehari-hari. Sebagai contoh tomat, bahan penting dalam masakan Turki. Untuk menanam tomat, petani memerlukan gas dan pupuk yang harus diimpor.

Harga tomat naik sampai 75 persen pada Agustus dibanding harga satu tahun sebelumnya, menurut Kamar Dagang di Antalya, sentra pertanian di kawasan pesisir selatan. "Bagaimana kami bisa untung dalam kondisi ini?" tanya Sadiye Kaleci, yang menanam anggur Pamukova, kota kecil sekitar tiga jam perjalanan dari Istanbul. "Kami menjual dengan harga rendah, harga belinya mahal," keluh perempuan itu. Untuk tanaman anggurnya, ia perlu membeli diesel, pupuk dan sulfur.

Pendekatan ekonomi Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan dianggap melenceng dari praktik yang lazim selama ini. Tak banyak orang yang percaya model ekonomi Erdogan bakal menolong lira Turki.

Di tengah ketidakpastian itu, ekonom Arda Tunca mengatakan tak dapat diperkirakan apa yang akan terjadi di kemudian hari. "Inilah pertama kalinya kami menerapkan model yang benar-benar di luar teori ekonomi. Ketika terjadi krisis sebelumnya kami dapat menerka-nerka apa yang akan terjadi. Sekarang tidak mungkin," katanya.

FOLLOW US