Sepucuk Surat, Penyelamat PMI asal NTT dari Siksaan Majikan di Malaysia

. | Jum'at, 05/11/2021 17:43 WIB
 Sepucuk Surat, Penyelamat PMI asal NTT dari Siksaan Majikan di Malaysia Mariance Kabu, mantan Pekerja Migran Indonesia asal NTT yang juga korban penyiksaan saat memberikan testimoni kepada jurnalis.

katakini.com--Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Pepatah ini seakan cocok dialamatkan kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Nusa Tenggara Timur. Adalah Mariance Kabu, tak pernah melupakan penderitaan yang dialami pada tahun 2014 lalu saat menjadi PMI di Malaysia.

Keinginan memperbaiki kehidupan ekonomi bersama suami dan keempat anaknya pupus. Malah berbanding terbalik. Ia malah menjadi bulan-bulanan majikannya di Malaysia selama 8 bulan menjadi pekerja rumah tangga.

Kekerasan setiap hari menjadi santapan harian hingga tubuh penuh luka dan cacat. Hingga saat ini, pendengaran menjadi terganggu dan sejumlah luka masih membekas pada beberapa bagian tubuhnya.

Mariance justru selamat berkat sepucuk surat yang disampaikan kepada warga lain yang kebetulan melintas di depan apartemen lokasi nya bekerja.

Kini Mariance didampingi Rumah Harapan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dan menjadi narasumber untuk memberikan testimoni mengenai perdagangan manusia.

Kamis (4/11/2021), Mariance Kabu memberikan testimoni dalam seminar, pelatihan media dan pembentukan jejaring jurnalis yang diselenggarakan VIVAT Internasional.

Didampingi Pendeta Paoina Bara Pa, pendamping dari Sinode GMIT, Mariance menuturkan pengalaman hidup dan penderitaannya selama 8 bulan menjadi pekerja migran.

Ia mengijinkan testimoni dan foto dipublikasikan demi kehidupan banyak orang. Dengan lugas dan sesekali menangis, Mariance pun menuturkan seluruh kisah kelam nya kepada puluhan jurnalis.

Ia mengawali cerita saat direkrut oleh dua tenaga lapangan dari PT Malindo yakni Tedy Moa, warga Kelurahan Maulafa Kota Kupang dan Piter Boki, warga Kecamatan Amanatun Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS).

Proses perekrutan ini tanpa sepengetahuan suami dan keluarga di kampung halamannya.

Mariance tergiur karena diiming-imingi gaji sebesar 800 ringgit atau setara Rp 2 juta per bulan.

Saat berangkat dari kampung halaman, Mariance diarahkan ke tempat penampungan milik PT Malindo di Maulafa, Kota Kupang. Di sana ditampung selama satu minggu tanpa pelatihan apapun dari perusahaan perekrut.

Diberangkatkan ke Malaysia melalui bandara El Tari Kupang pada 11 April 2014. Mariance merantau meninggalkan 4 anaknya Yanto (17), Yarne (14), Jero (11) dan Jeli (9).

Mariance sebelumnya hanya sebagai ibu rumah tangga dan suaminya Karfinus Tefa (52), bekerja sebagai penjual sembako di pasar Inpres Naikoten, Kota Kupang.

Dari bandara Eltari, ia bersama adik iparnya dan belum pernah naik pesawat. pesawat yang mereka tumpangi sempat transit di Surabaya, lalu melanjutkan perjalanan ke Batam.

Sampai di Batam sekitar jam 3 sore dan dibawa ke sebuah tempat kost. Usai makan mereka diantar ke pelabuhan dan ke Malaysia dengan kapal laut.

Di sana, dia dan beberapa temannya ditampung lagi selama satu minggu. Mariance sendiri sudah lupa dimana tempat penampungan tersebut.

Dia dan teman-temannya harus menunggu dan berharap ada majikan yang mau menerima mereka sebagai pekerja rumah tangga.

Dua hari sebelum majikan datang, mereka wajib memotong rambut. Majikan yang tunggu akhirnya datang setelah dicari oleh orang yang mengurus rumah penampungan itu.

Mariance mendapatkan majikan bernama Ong Su Ping Serena (47) dengan kontrak kerja selama dua tahun.

Ia dijemput oleh majikan tersebut saat pulang kantor menuju sebuah apartemen berlantai lima di Ampang, Selangor, Malaysia.

Sampai di rumah, ibu Mariance diberikan jadwal untuk kerja dari pagi sampai malam mulai dari urus rumah, bersih-bersih, masak, hingga menjaga seorang nenek berusia 97 tahun. "Saya seperti mengurus bayi," kisahnya.

Majikan Mariance adalah pekerja kantoran. Dia tidak memiliki suami dan anak. "Di rumah itu hanya ada kami bertiga dan majikan saya perempuan, bukan laki-laki," ujarnya.

Satu bulan pertama, belum ada tanda-tanda kekerasan yang akan terjadi. Mariance bekerja seperti layaknya pembantu rumah tangga di apartemen murah Blok M10 itu.

Namun pada bulan-bulan berikutnya, perlakuan kasar mulai dirasakan.

“Saya dipukul, ditendang seperti binatang. Kuku saya dicabut, hidung saya patah dan telinga saya tidak berfungsi dengan baik,” tutur Mariance.

Mariance bekerja selama 23 jam penuh mulai pukul 05.00 hingga pukul 04.00 subuh.

"Saya tidak bisa tidur karena ada alarm pengingat agenda pekerjaan yang tidak boleh saya lewatkan. Terlambat kerja maka ujungnya adalah siksaan," ujarnya.

Ia pernah dipukul dengan ikan beku hingga ia berdarah. Saat masuk kamar mandi ia dilarang menutup pintu dan dipaksa bekerja dalam keadaan telanjang.

"Majikan menggunting pakaian dalam saya. Saya tidak ada waktu mencuci pakaian dalam karena saya fokus pada jadwal kerja," ujarnya.

Penyiksaan yang dialami sungguh berat. Jari-jarinya dipotong hingga tangan terluka. Gigi, bibir, lidah dan kemaluan pun dicabut dengan tang. "Buah dada dan kemaluan saya dihancurkan dan saya tidak berani melawan karena saya tidak punya siapa-siapa," tambahnya.

Ia pernah disuruh tidur dalam kamar mandi selama satu minggu dalam keadaan telanjang. Ia juga pernah disuruh minum air kencing dan makan daging mentah.

Selamat Berkat Sepucuk Surat

Usaha untuk lari dari apartemen itu sudah dipikirkan sejak pertama kali dirinya disiksa. Namun setiap kali majikannya ke kantor, semua pintu dan jendela dikunci.

Mariance ditinggalkan berdua dengan ibunda majikannya yang sakit-sakitan. Suatu ketika, ada saat yang tepat bagi Mariance untuk keluar dari rumah itu.

Sebuah ide muncul untuk menulis sepucuk surat dalam bahasa Melayu. Mariance menulis surat itu untuk seorang tetangga yang berasal dari India berusia 70 tahun. Ia lupa nama tetangga itu.

“Saya tulis bahwa saya di sini mandi darah setiap hari, tolong saya,” kisah Mariance.

Mariance menulis surat itu saat majikannya berangkat ke kantor. Secarik surat itu selesai ditulisnya sekira jam 11 siang pada 20 Desember 2014.

Surat itu lalu dia sembunyikan dalam saku celana. Menjelang jam 6 sore, dia mendengar ada orang yang lewat di luar apartemen. Saat itu ia memiliki jadwal membersihkan rumah.

Dia cepat-cepat meremas surat itu dan melemparnya lewat fentilasi sambil berteriak minta tolong.

Dalam pikirannya surat harus tepat sasaran karena saat itu adalah waktu majikannya pulang dari kantor.

Beruntung surat yang tulis dalam bahasa melayu mencapai target. Tetangga apartemen mendapatkan surat kusut itu dan segera melapor ke Kepolisian Ampang.

Satu jam kemudian, kepolisian Ampang, Malaysia datang. Saat itu, sang majikan sudah tiba di apartemen. Majikan sempat membujuk Mariance agar tidak menceritakan penderitaannya.

Namun ketika ditanya polisi, Mariance menceritakan, sang majikan sempat menyangkali tindakannya. Mereka kemudian dibawa ke kantor Polisi untuk diambil keterangan.

“Saat ke kantor polisi saya tidak bawa pakaian selain yang ada ditubuh. Saya merasa sakit dan badan saya bengkak," ujarnya.

Hingga kini, hanya Mariance sendiri yang tahu maksud perlakuan itu. Dia tak sanggup menceritakan semuanya secara detail.

“Ya kita tidak bisa melawan. Ikuti saja karena kalau tidak pasti kita dapat hukuman” ungkapnya.

Dia hanya mampu melawannnya dengan doa agar majikannya bertobat.

“Sampai detik ini pun saya tidak marah dan benci walau muka saya hancur, hidung saya patah, bibir saya robek. Dulu kalau saya makan, kepala harus diangkat ke belakang karena air keluar lewat hidung,” terang Mariance.

Setelah ambil keterangan di kantor polisi, Mariance kemudian dilarikan ke rumah sakit Ampang Jaya di Kuala Lumpur selama 9 hari.

“Saat saya pergi ke Malaysia berat badan saya 60 kg namun saat rumah sakit cuma 20 kg. Kurus sekali. Namun saya bersyukur karena Tuhan mengizinkan saya tetap hidup,” ungkapnya.

Setelah dari rumah sakit, Mariance diantar ke rumah perlindungan TKI milik Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI).

Di sana, dia tinggal selama 6 bulan untuk mengikuti lima kali persidangan. “Saat itu saya tidak tahu lagi hasil sidang bagaimana karena saya dipulangkan tanggal 4 Juli 2015 ke Indonesia,” terangnya.

Dari kontrak kerja selama dua tahun dengan majikannya, Mariance hanya melaluinya selama 8 bulan.

Namun jika ditambah dengan proses persidangan selama 6 bulan, totalnya 1,5 tahun berada di Malaysia.

Saat mengalami berbagai penyiksaan sadis, Mariance mengaku dikuatkan oleh harapan yang tertuang dalam doanya.
Saat disiksa, sesekali dirinya menatap mata majikan sembari mendengungkan doa dalam hatinya “Tuhan tidak mengizinkan saya untuk mati di sini, di tanganmu”.

Doa ini terus didaraskannya setiap hari bahkan setiap detik. Dia yakin bahwa karya Tuhan akan menuntunnya keluar dari ‘neraka’ itu.

“Bahkan walau tindakan saya juga dipantau majikan lewat kamera handphone dari kantor, saya tetap yakin Tuhan akan bantu,” ungkapnya.

Mariance sendiri mengaku bingung dengan sikap majikannya.

“Dia lihat saya seperti musuh. Itu saja. Bahkan apa yang saya kerjakan selalu salah di mata dia. Dia seakan selalu punya alasan untuk siksa saya,” ungkapnya.

Mariance rutin dipukuli di bagian wajah, gerahamnya dicabut menggunakan tang, dan dipaksa minum air kencingnya sendiri.

“Saya masih ingat bagaimana saya mengalami pendarahan deras dan tidak diberi pengobatan apa pun. Saya menggunakan pakaian saya sendiri untuk menghentikan pendarahan. Selama berhari-hari, saya tidak dapat makan apa pun dan terus-menerus merasakan sakit," ujarnya.

Ia pun pernah dipaksa makan bubur panas dicampur cabe kering. Saat ia sulit menelan bubur, ia malah disiksa.
Majikan menempelkan panci panas pada payudaranya. Apapun yang pernah dilalui Mariance, dia bersyukur bisa lolos dari semua penyiksaan itu.

Mariance berharap dari kisahnya ini, menjadi pelajaran berharga bagi semua masyarakat NTT yang hendak menjadi TKI/TKW di luar negeri.

Tangkap Perekrut

Pihak Dit Reskrimum Polda NTT menahan dua orang tersangka kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Sementara satu orang perekrut masih buron.

Dua tersangka kasus TPPO yang ditahan dan dititipkan di sel Mapolres Kupang Kota masing-masing Tedy Moa (39), warga Kelurahan Maulafa Kecamatan Maulafa dan Piter Boki (41), warga Kecamatan Amanatun Utara Kabupaten TTS.

Sementara tersangka AT yang berperan sebagai perekrut buron. Ketiga tersangka terlibat dalam kasus TPPO dengan korban Mariance Kabu sejak 5 April 2014.

Korban Mariance Kabu (34) direkrut di kampungnya di Kecamatan Amanatun Utara Kabupaten TTS tanpa sepengetahuan orang tua dan suaminya.

Mariance juga tidak membawa dokumen apapun. 6 April 2014, korbn dibawa ke Kupang oleh tersangka AT dan Piter Boki dengan bus dan diserahkan ke tersangka Tedy Moa.

Ketiga tersangka pun mendapat imbalan berupa uang. Korban kemudian dibawa ke salah satu PTKIS dan ditampung selama dua malam.

Korban dijemput lagi oleh tersangka Tedy Moa dan dibawa ke rumahnya. Sepekan kemudian korban dikirim ke Malaysia menjadi TKW.

Di Malaysia korban bekerja sebagai pembantu umah tangga dan dianiaya majikan sehingga korban luka berat dan dipulangkan ke Indonesia.

25 November 2016, Pdt Emy Sahertian mendampingi korban melaporkan kasus ini ke Polda NTT.

Tersangka Tedy Moa diamankan polisi di Kelurahan Fatululi Kecamatan Oebobo pada 12 Maret 2018, sementara tersangka Piter Boki ditangkap sehari kemudian atau pada tanggal 13 Maret 2018.

Tersangka Tedy Moa sendiri merupakan residivis dan pernah ditahan di LP pada tahun 2015 lalu.

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat dengan pasal 4 dan 10 Undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan TPPO dengan ancaman hukuman paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun.

 

FOLLOW US