• News

Ikappi: PPN Bahan Pokok Sulitkan Pedagang Dan Masyarakat

Akhyar Zein | Rabu, 09/06/2021 21:44 WIB
Ikappi: PPN Bahan Pokok Sulitkan Pedagang Dan Masyarakat Ilustrasi. Pedagang beras di pasar tradisional ( foto: rmol.id)

JAKARTA, Katakini.com - Rencana pemerintah Indonesia mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) pada bahan kebutuhan pokok menimbulkan reaksi dari kalangan para pedagang.

Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) memprotes rencana pemerintah tersebut karena akan menyulitkan para pedagang dan masyarakat.

Ketua umum Ikappi Abdullah Mansuri mengatakan kebijakan tersebut semakin menyulitkan masyarakat karena digulirkan pada masa pandemi Covid-19 yang membuat perekonomian melambat.

“Kami mengalami kesulitan menjual karena ekonomi menurun dan daya beli masyarakat rendah. Mau ditambah PPN, bagaimana tidak gulung tikar?” ujar dia dalam siaran pers, Rabu.

Dia berharap pemerintah menghentikan rencana tersebut.

Menurut dia pada masa pandemi ini pedagang pasar mengalami penurunan omset lebih dari 50 persen.

Selain itu, pemerintah juga belum mampu menjaga stabilitas bahan pangan pada beberapa bulan belakangan.

Dia mencontohkan, harga cabai bulan lalu mencapai Rp100 per kilogram, demikian juga harga daging sapi juga belum stabil, ujar dia.

Pedagang pasar, menurut dia akan melakukan protes hingga didengar oleh Presiden Joko Widodo.

“Protes ini agar kementerian tidak melakukan hal-hal yang justru menyulitkan kami (pedagang pasar),” jelas Abdullah.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Sarman Simanjorang.

Sarman menyarankan pemerintah mempertimbangkan kembali rencana tersebut karena dampak pandemi Covid-19 masih terasa.

Dia khawatir, pengenaan PPN malah membuat daya beli masyarakat semakin turun.

“Mau tidak mau kalau daya beli masyarakat menurun akan membuat omzet pedagang pasar akan semakin turun, karena masyarakat lebih hemat,” kata dia kepada Anadolu Agency.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai perluasan objek PPN ke bahan pangan akan mendorong inflasi.

“Imbasnya bukan saja pertumbuhan ekonomi bisa kembali menurun tapi juga naiknya angka kemiskinan,” kata dia.

Menurut dia, harga bahan pangan berkontribusi sekitar 73 persen pada naik turun garis kemiskinan.

Artinya sedikit saja harga pangan naik, jumlah penduduk miskin akan bertambah, ujar dia.

Selain itu, pengawasan PPN pada bahan pokok relatif sulit dibanding barang retail lain.

Hal ini juga membuat biaya administrasi pemungutannya menjadi mahal, ujar dia.

“Karena sembako termasuk barang yang rantai pasokannya panjang serta berkaitan dengan sektor informal di pertanian,” jelas dia

Menurut dia, efek ini juga akan menimbulkan risiko banyaknya barang ilegal yang beredar tanpa tarif PPN sesuai.

Hal serupa pernah terjadi pada kasus kenaikan cukai rokok 2020 yang mengakibatkan peredaran rokok ilegal naik, ujar dia.

 

-Beras dikenakan PPN

Rencana pengenaan PPN pada barang kebutuhan pokok tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Selain barang kebutuhan pokok, PPN juga akan dikenakan pada barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.

Barang kebutuhan pokok yang kemungkinan dikenai PPN adalah beras dan gabah; jagung; sagu; kedelai; garam konsumsi; daging; telur; susu; buah-buahan; sayur-sayuran; ubi-ubian; bumbu-bumbuan; dan gula konsumsi.

PPN adalah pungutan yang dibebankan atas transaksi jual-beli barang dan jasa yang dilakukan oleh badan yang telah menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) sebesar 10 persen. Dalam rencana terbaru, pemerintah akan menaikkannya menjadi 12 persen, sedangkan pada bahan kebutuhan pokok sebesar 5 persen.

Pungutan PPN berlaku tidak hanya kepada konsumen, namun juga pada tingkat produsen sehingga terjadi pungutan PPN pada rantai pasoknya. Kenaikan PPN diperkirakan akan meningkatkan harga lebih tinggi di tingkat akhir konsumen.

Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan pengenaan pajak ini mengancam ketahanan pangan, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah.

Menurut dia pangan berkontribusi besar pada pengeluaran rumah tangga.

Bagi masyarakat berpendapatan rendah, belanja kebutuhan pangan bisa mencapai sekitar 56 persen dari pengeluaran rumah tangga mereka.

PPN ini akan lebih memberatkan bagi golongan tersebut karena pada akhirnya akan dibebankan pengusaha kepada konsumen,” ujar dia.

 

-Mencari waktu yang tepat

Staff khusus Menteri Keuangan bidang Komunikasi Yustinus Prastowo mengatakan pemerintah akan mencari waktu yang tepat untuk menerapkan kebijakan ini.

“Bukan berarti akan serta merta diterapkan di saat pandemi,” ujar dia dalam unggahan di Twitter.

Menurut dia, pemerintah harus memikirkan penerimaan negara setelah pandemi mereda karena selama ini tulang punggung penerimaan negara hanya dari pembiayaan utang.

Negara lain juga melakukan restrukturisasi pajak, misalnya Presiden Joe Biden yang menaikkan tarif PPh badan dari 21 persen menjadi 28 persen tak lama setelah dilantik, kata Yustinus.

Inggris juga berencana menaikkan tarif PPh Badan dari 19 persen menjadi 23 persen.

Menurut dia saat ini ada 15 negara yang melakukan menyesuaikan tarif PPN untuk membiayai penanganan pandemi.

Rata-rata tarif PPN 127 negara-negara itu sebesar 15,4, persen sementara Indonesia masih 10 persen, kata dia.

“Banyak negara berpikir ini saat yang tepat untuk optimalisasi pajak demi keberlanjutan,” ujar dia.

Menurut dia kinerja perpajakan Indonesia belum optimal membiayai target belanja publik meski dalam lima tahun terakhir secara nominal naik.

Menurut dia kinerja penerimaan PPN belum optimal disebabkan terlalu banyak pengecualian dan fasilitas yang distortif dan tidak tepat bahkan menjadi ruang penghindaran pajak.

“Ini saat yang tepat untuk merancang dan memikirkan. Bahwa penerapannya menunggu ekonomi pulih dan bertahap, itu cukup pasti,” ujar dia.

Rencana kenaikan PPN sedang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat. Bersama kebijakan PPN, pemerintah juga mengajukan perubahan kebijakan perpajakan penghasilan (PPh) dan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II.(AA)


FOLLOW US