• News

Warga Kaltim Khawatir Terpinggirkan Proyek Ibu Kota Baru Indonesia

Akhyar Zein | Sabtu, 17/04/2021 11:22 WIB
Warga Kaltim Khawatir Terpinggirkan Proyek Ibu Kota Baru Indonesia Hutan alami Kalimantan menjadi pertaruhan besar proyek ibu kota baru, kata aktivis lingkungan. (foto: BPI)

Katakini.com – Dahlia, sempat tertegun sejenak saat mengetahui Desa Sepaku, Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, kampung halamannya, akan dijadikan lokasi pembangunan ibu kota baru menggantikan Jakarta.

Kabar itu dia dengar tahun lalu dalam sebuah perbincangan dalam kelompok adat.

Kampungnya yang kecil, terbelakang dan minim fasilitas akan jadi pusat pemerintahan negara terbesar di Asia Tenggara.

Seperti halnya banyak orang Penajam Paser yang lain, pikiran Dahlia diselimuti banyak pertanyaan tentang nasibnya kelak jika ibu kota negara benar-benar jadi pindah ke kampung mereka.

Dahlia adalah seorang penari generasi terakhir Suku Paser Balik, salah satu suku asli di daerah tersebut, selain Dayak.

Penajam Paser Utara mempunyai penduduk sekitar 160.000 orang, sangat kecil dibandingkan Jakarta, ibu kota saat ini, yang dihuni 10,5 juta orang lebih.

Dahlia bertanya-tanya apakah warga asli seperti dirinya tidak langsung terpinggirkan karena tidak mampu bersaing dengan para pendatang yang akan menjadi penghuni ibu kota baru.

Warga baru ibu kota, kata dia, unggul segalanya; mereka mempunyai pendidikan tinggi dan terbiasa hidup di kota besar yang sibuk.

Sementara warga asli adalah masyarakat yang selama ini tidak pernah mendapatkan pendidikan berkualitas atau kesehatan yang memadai.

“Tidak ada yang akan bisa bersaing, kami tidak punya keterampilan seperti masyarakat di Jakarta,” ujar dia saat ditemui di rumahnya, Desember 2020.

Dahlia juga khawatir mengenai dampak yang ditimbulkan proyek besar-besaran berbiaya lebih dari Rp400 triliun bagi lingkungan hidup.

Dampak lingkungan ini penting sebab penduduk Desa Sepaku sangat bergantung kepada hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Dia mencontohkan bagaimana masyarakat kerajinan dari kayu hingga menanam singkong untuk makanan sehari-hari.

“Kami bikin solong penias (sejenis bakul), semuanya dari hutan, dari rotan. Kalau hutan sudah tidak ada, kami mau ke mana?” ucap Dahlia.

Belum lagi, tutur dia, warga Suku Balik, juga masih mencari obat tradisional dari tumbuh-tumbuhan di hutan.

“Kami cari obat di hutan, kami jarang ke rumah sakit atau puskesmas,” jelas dia.

Wiwid Sugiarti, 40, juga merasakan kekhawatiran yang sama

Dia merasa pembangunan ibu kota baru ini hanya akan membuat penduduk lokal tergusur.

Wiwid merupakan generasi ketiga yang tinggal di Desa Sepaku.

Kakek Neneknya berasal dari Jawa Timur, mereka pindah ke daerah ini sejak zaman orde baru, ikut program transmigrasi.

Sebetulnya Wiwid tak sepenuhnya menolak pembangunan ibu kota baru itu, di satu sisi dia senang lingkungannya akan berkembang pesat.

“Kita setuju saja kalau mau bangun ibu kota di sini. Tapi jangan sampai penduduk di sini jadi tersisih,” ujar dia.

Wiwid juga khawatir, saat penduduk tambah banyak tempat tinggalnya jadi tidak aman lagi, kriminalitas jadi naik.

"Ini harus dipikirkan benar. Jangan sampai penduduk lokal tersisihkan dan lingkungan jadi tidak aman," ujar dia.

Kepala Adat Kelurahan Sepaku, Sibukdin berharap ada komunikasi yang intensif antara pemerintah dan masyarakat adat untuk menyelesaikan kekhawatiran yang muncul akibat rencana proyek ini.

Dia belum bisa memikirkan cara agar bisa beradaptasi dengan lingkungan baru jika proyek itu benar-benar terlaksana kelak.

"Tak ada cara lain untuk beradaptasi selain dengan mempertahankan tanah dan kebudayaan Suku Balik."

“Kami tidak menghalang-halangi kalau tidak proyek itu mengganggu kehidupan kami,” kata dia kepada Anadolu Agency.

“Mereka tidak paham dengan kami, kami tidak paham dengan kehendak mereka,” tambah dia.


-Dampak lingkungan hidup

Kekhawatiran warga terhadap dampak lingkungan akibat pembangunan ibu kota baru sejalan dengan hasil penelitian Forest Watch Indonesia.

Anggi Prayogi Putra peneliti LSM yang mengkaji lingkungan Teluk Balikpapan sejak 2016 ini mencatat lebih dari 16 ribu hektare ekosistem mangrove terancam hilang akibat rencana pembangunan ibu kota baru dan implementasi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP).

Padahal kata dia, ekosistem mangrove penting karena menjadi habitat bagi hewan-hewan yang terlindungi seperti bekantan dan pesut.

Ekosistem mangrove juga menjadi salah satu solusi untuk mencegah banjir, karena sepanjang pesisir Teluk Balikpapan memiliki Indeks Bahaya Banjir dan Indeks Kerentanan Banjir yang tinggi.

“Tidak cocok jika dilakukan konversi, dibangun atau dijadikan permukiman bahkan kawasan industri,” tutur Anggi.

Bersama masyarakat pesisir di teluk, mereka mengusulkan agar daerah tersebut dijadikan sebagai area perlindungan atau kawasan konservasi.

Di sisi lain Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) serta Pemerintah Kota Balikpapan berencana membangun jembatan tol Teluk Balikpapan yang akan menghubungkan kedua kawasan itu.

Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Merah Johansyah mengatakan lokasi pembangunan ibu kota baru ini adalah lahan yang dikuasai oleh banyak perusahaan, sehingga akan menimbulkan persoalan ganti rugi yang besar.

Pada tiga ring kawasan ibu kota baru yang luasnya mencapai 180.965 hektar ini terdapat 162 konsesi.

Mulai dari konsesi pertambangan, kehutanan, sawit, PLTU batu bara hingga properti.

“Masa perusahaan bersedia kasih lahannya gratis untuk pembangunan, pasti minta kompensasi,” jelas Merah kepada Anadolu Agency.


- Layanan inklusif

Indonesia sebenarnya sudah beberapa kali mempunyai rencana pemindahan ibu kota dari Jakarta.

Presiden pertama, Soekarno, sempat mewacanakan Palangkaraya, Kalimantan Tengah sebagai lokasi ibu kota baru pada 1960-an, namun gagal karena terhalang penyelenggaraan Asian Games 1962.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengakui pernah berencana memindahkan ibu kota ke timur Jakarta, namun dihentikan.Wacana ini bertambah serius saat Presiden Joko Widodo mengumumkan pemindahan ibu kota pada 26 Agustus 2019 lalu.

Ibu kota dipindah karena beban Jakarta yang sudah terlampau berat, kata Presiden Jokowi, panggilan Joko Widodo.

Alasan lainnya, beban Pulau Jawa yang semakin berat dengan penduduk 150 juta atau 54 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.

Selain itu juga pemerataan pembangunan, agar wilayah-wilayah yang jauh dari Jakarta juga tetap bisa merasakan pembangunan.

Proyek ibu kota baru ini tetap berlanjut di tengah pandemi Covid-19, meski masih dalam tahap perencanaan.

Pemerintah sebelumnya menargetkan bisa melakukan peletakan batu pertama pada Ramadhan tahun ini, untuk menunjukkan bahwa proyek jalan terus.

Presiden Jokowi juga terus meminta masukan dari sejumlah ahli tentang desain ibu kota baru.

Dia mengundang para ahli dari sejumlah latar belakang profesi untuk duduk dalam Badan Otorita Ibu Kota Negara, lembaga yang memberi rekomendasi soal proyek pemindahan ibu kota.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan pemerintah memiliki strategi agar penduduk lokal tak tersisihkan dalam pembangunan ibu kota baru

Strategi ini, kata dia, mengupayakan agar permukiman masyarakat lokal dikelola, ditata, dan terintegrasi dengan pengembangan ibu kota baru.

“Layanan yang diberikan ialah layanan inklusif untuk masyarakat lokal maupun pendatang,” kata Menteri Suharso kepada Anadolu Agency.

Pemerintah juga melakukan upaya untuk menjaga keseimbangan lingkungan sekitar dengan memberikan ruang hijau sebagai pengganti untuk bangunan institusional, komersial dan hunian.

“Ibu kota negara memiliki prinsip mendesain sesuai dengan kondisi alam,” sambung dia.

Meski begitu, pembangunan ibu kota negara tetap akan menunggu proses pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ibu Kota Negara di DPR.

Suharso juga menunggu Surat Presiden (Surpres) tentang ibu kota negara diturunkan ke DPR.

"Saya kira ketika itu diturunkan, pada saat yang bersamaan kita berharap itu dapat bisa dibahas dengan cepat," ujar dia.

FOLLOW US