• News

Menag Indonesia Susun 5 Strategi Hadapi Isu Intoleransi Antarumat Beragama

Akhyar Zein | Jum'at, 19/03/2021 14:28 WIB
Menag Indonesia Susun 5 Strategi Hadapi Isu Intoleransi Antarumat Beragama Menteri Agama Indonesia Yaqut Cholil Qoumas (foto Detik.com)

Katakini.com – Menteri Agama Indonesia Yaqut Cholil Qoumas mengaku prihatin atas masih terjadinya perilaku pola pikir diskriminatif dari kaum mayoritas kepada kaum minoritas di Indonesia.

Menurut dia, hal ini hanya akan menimbulkan pembalasan di belahan bumi yang lain.

“Nah untuk itu di Kementerian Agama sebenarnya kita sudah membuat beberapa strategi bagaimana ke depan kita bisa mengatasi persoalan seperti ini,” kata Menag Yaqut dalam Dialog Nasional SKB 3 Menteri tentang Seragam Sekolah secara virtual, Jumat.

Strategi pertama, dia menjelaskan dengan mengidentifikasi masalah dan cara-cara penangkalannya.

Menag Yaqut dengan tegas mengatakan elemen-elemen yang bermasalah dalam pandangan-pandangan keagamaan harus diidentifikasi secara akurat karena sudah tidak sesuai lagi dengan konteks yang terjadi saat ini.

Yaqut merasa ini harus dilakukan agar tidak terjadi generalisasi terhadap agama sehingga mengarah pada berbagai ketakutan.

“Berbagai pemahanan yang menguatkan pandangan-pandangan yang bermasalah tersebut dalam hemat kami perlu ditangkal agar tidak terus menyebar menjadi semacam virus di kalangan umat beragama,” terang dia.

Strategi kedua menurut Menag Yaqut adalah harus ada resolusi konflik.

Dia mencontohkan, kasus pemaksaan pemakaian jilbab di sekolah sering kali dijadikan sumber pembenaran untuk melestarikan pandangan keagamaan yang problematis.

Lebih lanjut, Menag Yaqut juga mencontohkan bahwa sering kali pembangunan masjid atau mushala lebih mudah didirkan dibandingkan dengan rumah ibadah agama lain.

“Karena menurut hemat saya tidak ada peraturan tegas yang mengatur bagaimana tempat ibadah itu boleh didirikan,” jelas Yaqut.

Ketiga, dia mengatakan akan mengembangkan promosi perdamaian antar umat beragama.

Sebab, menurut dia, semua agama mengajarkan kebaikan, kasih sayang serta toleransi yang seharusnya tidak menimbulkan perpecahan.

Keempat ialah penyesuaian sistem pendidikan agama.

Penyesuaian sistem pendidikan agama ini penting karena agar dampak langsung pada pola pikir umat beragama bisa berubah, kata Yagut.

Yaqut mengatakan, elemen utama dari penyesuaian itu dengan mengenalkan cara pandang baru terhadap sejarah dan membangkitkan kesadaran tentang perubahan realitas peradaban.

Dia menyoroti bahwa, beberapa buku ajar pendidikan agama Islam lebih banyak memunculkan perang Nabi Muhammad.

Padahal kata dia, perang hanya menjadi bagian Nabi Muhammad selama 80 hari dari total 23 tahun masa kenabian.

Itu pun menurut dia, perang dilakukan karena keadaan yang sangat darurat sehingga tidak ada solusi lain selain berperang.

Sedangkan menurut Menag Yaqut, sisa 22 tahun lain mengenai masa kasih sayang dan menghargai satu sama lain tidak banyak dimunculkan dalam buku ajar pendidikan agama Islam.

Oleh sebab itu, dia menegaskan akan segera memperbaiki masalah tersebut.

“Tujuannya apa agar peserta didik dan masyarakat mampu menangkap nilai-nilai sejati dari agama yang harus senantiasa mendapatkan ruang manifestasi dalam konteks realitas yang terus berubah,” ujar Yaqut.

Kemudian strategi terakhir, kelima, adalah menjalankan gerakan nasional untuk memelihara harmoni nasional, menjaga kerukunan umat beragama dan menangkal seluruh potensi perpecahan.

Sementara itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim menyatakan esensi dari SKB 3 Menteri tentang seragam sekolah yakni mengenai kebebasan bagi warga untuk memilih bagaimana mereka ingin mengekspresikan praktik-praktik keagamaan termasuk seragam.

“Tidak boleh ada pemaksaan dalam unit pendidikan di negeri kita,” tegas Nadiem dalam Dialog Nasional SKB 3 Menteri tentang Seragam Sekolah secara virtual, Jumat.

Dia juga mengatakan bahwa pemerintah harus melindungi hak setiap anak dan setiap orang tua yang menentukan bagaimana mereka mempraktekkan agama mereka.

Menurut Nadiem, penyebab intoleransi terjadi di dalam pendidikan karena selama bertahun-tahun belum ada peraturan yang jelas dari pemerintah.

“Mungkin ada berbagai macam interpretasi yang memberikan ruang terhadap berbagai macam praktik yang mungkin melawan azas dari toleransi yang ingin kita kembangkan,” jelas Nadiem.

FOLLOW US