• News

Setahun Berlalu, Jalan Masih Panjang Menuju Akhir Pandemi di Indonesia

Akhyar Zein | Rabu, 03/03/2021 07:10 WIB
Setahun Berlalu, Jalan Masih Panjang Menuju Akhir Pandemi di Indonesia Petugas kesehatan tiba dengan pasien di Rumah Sakit Sulianti Saroso di Jakarta, Indonesia pada 2 Maret 2020. Indonesia mengkonfirmasi dua kasus pertama virus coronavirus pada 2 Maret 2020. ( foto Anadolu Agency )

Katakini.com - Pada 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan dua kasus Covid-19 pertama di Indonesia.

Indonesia menghadang ancaman virus SARS-CoV-2 dalam kondisi tidak siap, seperti banyak negara lain di dunia. Ketersediaan fasilitas kesehatan, jumlah tenaga medis, hingga infrastruktur dan logistik penanganan pandemi tidak sebanding dengan cepatnya laju penularan virus.

Sejak saat itu, Indonesia telah mencatat lebih dari 1,3 juta kasus Covid-19. Pandemi juga telah menyebabkan 36 ribu nyawa melayang. Data ini belum termasuk jumlah pasien yang meninggal ketika masih berstatus sebagai suspect.

Kemarin,  Selasa, 2 Maret 2021, tepat satu tahun setelah dilanda pandemi, Indonesia menghadapi tantangan baru berupa mutasi virus korona.

Kementerian Kesehatan mengonfirmasi dua kasus Covid-19 dari mutasi virus korona varian B117 asal Inggris, pada hari ini.

Sejumlah penelitian mengungkap varian B117 menular 1,7 kali lebih cepat dibandingkan varian D614G yang saat ini mendominasi penularan Covid-19 di dunia.

Selain itu, B117 juga 30-70 persen lebih mematikan dibandingkan varian awal virus SARS-CoV-2 ini.

“Artinya kita akan menghadapi pandemi ini dengan tingkat kesulitan yang semakin berat,” kata Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono dalam konferensi pers virtual, pada Selasa.

Epidemiolog asal Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan belum ada tanda-tanda situasi pandemi akan segera membaik pada tahun ini. Penemuan varian B117 menjadi ancaman yang perlu direspons secara serius karena sangat berpotensi memperburuk situasi pandemi.

Dicky sendiri menduga varian ini bisa saja telah ada di Indonesia sejak Januari 2021, namun belum terdeteksi karena terbatasnya kapasitas genome surveillance.

“Kalau kita tidak segera memperkuat kemampuan 3T (tes, lacak, isolasi) dan protokol kesehatan, itu seperti menggali lubang kubur sendiri,” kata Dicky kepada Anadolu Agency, Selasa.

Sebelum mengonfirmasi varian baru, Indonesia dinilai belum mampu mengendalikan laju penularan Covid-19.

Dicky juga menduga kasus penularan dan kematian yang sesungguhnya terjadi jauh lebih besar dari data yang dilaporkan oleh pemerintah. Kasus-kasus positif itu belum seluruhnya terdeteksi karena lemahnya kemampuan 3T.

Indonesia baru mampu melakukan tes Covid-19 terhadap 2,67 persen penduduk dalam satu tahun. Upaya ini belum sebanding dengan cepatnya laju penularan virus. Belum lagi upaya pelacakan kontak yang masih minim.

Situasi ini terlihat dari angka positivity rate Indonesia yang masih di atas 10 persen, bahkan pernah mencapai 35 persen. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan standar positivity rate sebesar 5 persen sebagai penanda bahwa pandemi di suatu wilayah terkendali.

Indonesia kini menjadi negara dengan kasus kumulatif tertinggi di Asia Tenggara, dan tertinggi ketiga di Asia setelah Iran dan India.

Namun, angka kasus kematian harian akibat Covid-19 di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia sejak pertengahan Januari 2021. Angka kematian yang tinggi, kata Dicky, menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia salah menerapkan strategi.

Selama upaya 3T dan penerapan protokol kesehatan tidak dibenahi, maka akan sulit berharap pandemi dapat segera terkendali. Sementara itu, potensi mutasi baru dari virus yang telah beredar sangat mungkin terjadi dan dapat mengganggu program vaksinasi yang tengah berjalan.

“Potensi Indonesia melahirkan strain baru itu bukan hal yang tidak mungkin. Makanya kita harus memperkuat respons dan fokus pada aspek kesehatan,” ujar Dicky.


—Gelombang pertama belum usai

Juru bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan tren kasus harian saat ini telah menurun apabila dibandingkan pada Januari 2021.

Januari lalu menjadi salah satu fase paling rawan dalam kurun satu tahun Indonesia menghadapi pandemi. Angka kematian meningkat lebih dari 50 persen dari bulan sebelumnya.

Fasilitas kesehatan kewalahan menangani pasien sehingga pemerintah harus menambah kapasitas tempat tidur khusus pasien Covid-19 sebesar 30 persen. Dampaknya, angka kematian tenaga medis juga meningkat pada saat itu.

Wiku menuturkan kenaikan kasus itu dipicu oleh meningkatnya mobilitas masyarakat akibat libur panjang.

“Dalam satu bulan kita bisa kehilangan lebih dari seribu nyawa hanya karena memilih melakukan perjalanan dan berlibur,” kata Wiku dalam konferensi pers virtual.

Namun di sisi lain, otoritas Indonesia tidak menerapkan kebijakan pembatasan apa pun saat libur panjang. Masyarakat hanya diimbau untuk tidak bepergian.

Selama menghadapi pandemi, Indonesia tercatat telah mengambil sejumlah kebijakan, seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada masa awal pandemi, hingga Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang saat ini masih berlaku.

Wiku mengklaim PPKM telah berdampak cukup signifikan pada penurunan kasus saat ini, namun sejumlah pihak meragukan hal itu.

Ketua Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Adib Khumaidi mengatakan meski angka kasus harian mulai menurun, bukan berarti gelombang pertama sudah berakhir. Menurut Adib, laju penularan masih bisa meningkat sewaktu-waktu.

“Kita masih ada pada fase yang berisiko. Meski tingkat keterisian atau occupancy rate rumah sakit mulai menurun saat ini, tetapi di ruang ICU masih banyak perawatan pasien Covid-19,” kata Adib.

Epidemiolog asal Universitas Indonesia, Iwan Ariawan juga mengatakan masih terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa situasi penularan telah membaik.

Penurunan angka kasus harian, kata dia, bisa jadi dipicu oleh menurunnya jumlah tes atau sistem pelaporan kasus-kasus baru yang terlambat.

“Sistem informasi dan data pandemi kita masih berantakan, sulit untuk mendapatkan indikator penularan yang sebenarnya. Ini poin utama yang harus dibenahi,” tutur Iwan.


—Jalan masih panjang mencapai herd immunity

Program vaksinasi telah berjalan sejak 13 Januari 2021, menjadi salah satu progres penting dalam penanganan pandemi di Indonesia.

Pemerintah Indonesia menargetkan sebanyak 181,5 juta orang atau 70 persen dari total penduduk untuk disuntik vaksin dalam kurun 12 bulan untuk mencapai kekebalan komunitas atau herd immunity.

Program vaksinasi berjalan melalui dua skema, yakni vaksinasi gratis yang disediakan pemerintah serta jalur mandiri untuk buruh dan pekerja yang biayanya ditanggung perusahaan.

Meski pelaksanaan vaksinasi selalu dikaitkan dengan tercapainya kekebalan imunitas, Iwan Ariawan menuturkan, ini bukan satu-satunya faktor penentu untuk keluar dari pandemi.

Berdasarkan pemodelan yang dilakukan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, pandemi mungkin terkendali pada September atau Oktober 2021 apabila cakupan vaksinasi telah mencapai 30 persen dari total penduduk berusia 18 tahun ke atas.

Dalam skenario terbaik ketika jumlah vaksinasi bisa mencapai 1 juta orang per hari, Iwan mengatakan, kekebalan komunitas dapat tercapai pada Maret-April 2022.

“Itu dengan catatan target 1 juta vaksinasi per hari bisa tercapai, tapi kan itu juga bergantung pada faktor lain seperti ketersediaan logistiknya, kelancaran distribusinya, dan lain-lain,” kata Iwan.

Sedangkan apabila target itu hanya tercapai setengahnya, Iwan memprediksi pandemi baru dapat terkendali pada Februari-Maret 2022, sedangkan kekebalan komunitas tercapai pada akhir 2022.

Iwan menekankan aju vaksinasi yang berjalan cepat akan tetap berisiko apabila 3T dan protokol kesehatan tidak berjalan baik. Pasalnya, laju penularan virus akan selalu lebih cepat dibanding pelaksanaan vaksinasi itu sendiri. Apabila pandemi tidak terkendali, maka program vaksinasi pun tidak akan berjalan maksimal.

“Protokol kesehatan dan 3T ini harus seimbang dengan laju vaksinasi, kalau tidak kasusnya akan tetap naik,” kata Iwan.

Sementara itu, epidemiolog Dicky Budiman mengatakan alih-alih terjebak pada target mencapai herd immunity, program vaksinasi seharusnya fokus pada bagaimana menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat Covid-19.

“Jangan terjebak dalam target herd immunity, karena seperti terjebak kapan pandemi berakhir. Kita sulit menentukan dengan tepat karena banyak faktor yang dinamis dan itu sangat memengaruhi,” ujar Dicky.(Anadolu Agency)

FOLLOW US