Ilustrasi Palu Sidang (Istimewa)
JAKARTA - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menolak eksepsi yang diajukan mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi di kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan penerimaan gratifikasi.
“Mengadili, menyatakan keberatan dari penasihat hukum terdakwa Nurhadi tidak dapat diterima,” kata Hakim Ketua Fajar Kusuma Aji dalam persidangan, Senin, 15 Desember 2025.
Selanjutnya, Hakim memerintahkan agar Jaksa Penuntut Umum (JPU) melanjutkan perkara TPPU dan penerimaan gratifikasi Nurhadi ke tahap pembuktian. Sidang akan dilanjutkan pada pekan depan.
“Memerintahkan penuntut umum untuk melanjutkan pemeriksaan perkara,” ujar Fajar.
Dalam eksepsinya, Nurhadi membantah melakukam TPPU hingga Rp307,2 miliar serta menerima gratifikasi senilai Rp 137,1 miliar.
Salah satu pengacara Nurhadi mengatakan bahwa sebagai sekretaris MA, kliennya tidak memiliki kewenangan untuk menangani perkara. Nurhadi hanya beririsan dengan administrasi dan finansial MA.
“Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Sekretaris MA dalam jabatannya sama sekali tidak memiliki kewenangan dalam hal pengurusan perkara,” ujar beberapa waktu lalu.
Selain itu, Nurhadi juga menyinggung soal nama menantunya, Rezky Herbiyono, yang diduga jaksa sebagai orang yang bertugas melakukan pencucian uang.
Nurhadi membantah, aliran uang itu ada kaitan dengannya. Seluruh uang yang keluar masuk itu disebut masih bagian dari bisnis Rezky.
“Penerimaan-penerimaan yang dilakukan oleh Rezky Herbiyono adalah timbul dari hubungan bisnis yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan terdakwa,” lanjut pengacara Nurhadi
Nurhadi didakwa melanggar Pasal 12 B jo Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Nurhadi juga didakwa melanggar Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
Sebelumnya, pada tahun 2021 lalu, Nurhadi sudah terbukti menerima suap dan gratifikasi dari sejumlah kepengurusan perkara.
Saat itu, ia divonis 6 tahun penjara setelah terbukti menerima suap sebesar Rp 35,726 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) 2014-2016, Hiendra Soenjoto, terkait kepengurusan dua perkara Hiendra.
Selain itu, dia juga terbukti menerima gratifikasi sebanyak Rp 13,787 miliar dari sejumlah pihak yang berperkara, baik di tingkat pertama, banding, kasasi, maupun peninjauan kembali.