Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Demokrat Hinca Pandjaitan. Foto: dpr
JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI Hinca Pandjaitan mengatakan reformasi pengadilan harus dimulai dari aspek paling hilir dalam proses peradilan, yakni amar putusan hakim.
Ia menilai banyak putusan, terutama dalam perkara korupsi, menimbulkan kebingungan publik karena redaksinya tidak jelas, sulit dieksekusi, dan membuka ruang tafsir yang luas.
“Apapun itu, (baik) hakim di tingkat bawah, tengah, (maupun) atas, yang kita nanti sesungguhnya adalah amar putusannya. Saya mau dari titik itu, Pak. Kita diskusi dulu amar putusannya karena itulah produk paling akhir (atau) hilir dari semua yang kita bicarakan,” ujar Hinca dalam ketrangan resmi dikutip pada Minggu (7/12).
Hinca mencontohkan putusan tindak pidana korupsi yang memuat frasa-frasa multitafsir, seperti penyitaan harta setelah putusan berkekuatan hukum tetap, hingga rumusan “tidak mempunyai harta benda yang cukup” yang kerap membingungkan dan membuat masyarakat gelisah. Ia juga menilai rumusan yang tidak presisi tersebut membuat eksekusi putusan tidak efektif dan mengganggu rasa keadilan.
Lebih jauh, Politisi Fraksi Partai Demokrat itu menilai reformasi peradilan tidak hanya menyangkut struktur dan kewenangan, tetapi juga presisi bahasa hukum agar putusan tidak menimbulkan masalah baru. Ia menanyakan apakah persoalan ini pernah menjadi perhatian serius dalam kajian-kajian kelembagaan peradilan.
Selain menyoroti amar putusan, Hinca juga meminta Indonesia Police Watch (IPW) memaparkan riset mengenai pengaduan publik terhadap pelayanan penegakan hukum. Ia merujuk data Polri yang menyebut sekitar 250 ribu laporan polisi per tahun, dengan tingkat penyelesaian sekitar 70 persen, menyisakan 30 persen perkara yang mandek. “Itu riil hari ini. Bagaimana kita menyelesaikan tunggakan perkara ini dalam waktu singkat?” tegasnya.
Hinca turut mempertanyakan urgensi keberadaan Surat Pemberhentian Penyelidikan (SP2Lid), karena dinilai tidak lagi sejalan dengan prinsip pro-justitia dan sering menimbulkan praktik pemanggilan klarifikasi yang membingungkan masyarakat. Ia meminta IPW memberikan rekomendasi apakah SP2Lid perlu direformulasi atau dihapus.
Pada aspek pengawasan, Politisi Fraksi Partai Demokrat itu juga menyoroti peran Wasidik dan menilai pengawasan penyidikan harus diperkuat secara struktural. Namun, ia mengingatkan adanya tren penurunan minat polisi menjadi penyidik akibat ancaman sanksi etik dan disiplin yang berlapis.
“Jumlah perkara banyak sekali, jumlah penyidik makin kurang, tapi masyarakat ingin dilayani cepat,” ujarnya.
Hinca berharap masukan dari para ahli dapat memperkuat desain reformasi penegakan hukum secara menyeluruh, terutama pada titik akhir proses peradilan agar keadilan tidak lagi tertunda maupun terdistorsi di level putusan.