Ilustrasi - Kisah Prabu Siliwangi luluh oleh lantunan Al-Quran Nyi Subang Larang (Foto: Theasianparent via Jurnas)
JAKARTA - Kerajaan Pajajaran pada abad ke-15 berada pada puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Prabu Siliwangi, raja besar yang menjunjung tinggi ajaran Sunda Wiwitan serta harmoni manusia dan alam. Namun dinamika spiritual wilayah itu mulai berubah ketika dakwah Islam perlahan masuk melalui lembaga-lembaga pendidikan awal di pesisir utara Jawa Barat.
Salah satu pusat dakwah tersebut adalah pesantren kecil Quro di Rengasdengklok, Karawang, yang dipimpin oleh ulama asal Tiongkok, Syekh Quro atau Haji Hasanuddin.
Menurut catatan UIN Sunan Gunung Djati, jejak pesantren itu kini berada di Pulo Bata, Desa Pulokalapa, Karawang, dan menjadi salah satu situs penting perkembangan Islam di Tatar Sunda.
Pada 1421, kabar mengenai ajaran baru yang disebarkan Syekh Quro didengar oleh Prabu Siliwangi. Sebagian kalangan istana menilai dakwah itu mengusik tatanan spiritual Pajajaran.
Sang raja pun memutuskan turun langsung untuk menghentikan aktivitas ulama tersebut, sebagaimana dituturkan K.H. Said Aqil Siradj dalam pengajiannya.
Namun sesampainya di pesantren, Prabu Siliwangi tidak mendapati perlawanan. Yang terdengar justru lantunan Al-Qur’an yang merdu dan menenangkan.
Suara itu datang dari seorang santriawati muda bernama Nyi Subang Larang, putri Ki Gedeng Tapa dari Cirebon, yang sedang mempelajari ajaran Islam di bawah bimbingan Syekh Quro.
Keindahan bacaan Subang Larang disebut membuat Prabu Siliwangi tertegun. Amarah yang dibawanya perlahan menghilang, tergantikan kekaguman terhadap keteduhan suara dan kecerdasan spiritual sang santriawati.
Dari momen itu, rasa hormat sang raja berkembang menjadi keinginan untuk meminang Subang Larang.
Syekh Quro menetapkan dua syarat bagi pernikahan: Prabu Siliwangi harus mengucapkan dua kalimat syahadat dan membawa lintangkerti, tasbih suci dari Tanah Arab, sebagai maskawin.
Kisah perjalanan sang prabu memenuhi syarat itu turut diriwayatkan dalam berbagai tradisi lisan dan dicatat dalam buku Sejarah Pajajaran karya Saleh Danasasmita (1997), dikutip Kumparan.
Meski pernikahan itu tidak membuat Prabu Siliwangi sepenuhnya memeluk Islam, ia memberi kebebasan kepada Subang Larang untuk menjalankan serta mengajarkan keyakinannya.
Dari perkawinan tersebut lahir tokoh-tokoh yang kelak memainkan peran sentral dalam penyebaran Islam di wilayah Sunda, termasuk Raden Walangsungsang, Prabu Kian Santang, dan Nyimas Rara Santang.
Kisah pertemuan antara Prabu Siliwangi dan Subang Larang diyakini sebagai titik penting dalam transisi budaya Sunda. Peristiwa ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam di Tatar Sunda tidak berlangsung melalui pertempuran, tetapi melalui pendekatan spiritual, pendidikan, dan keteladanan yang menghadirkan harmoni antara ajaran baru dan tradisi lokal.