• Info DPR

Pemerintah Diminta Evaluasi Kebijakan Visa Wisman agar Pariwisata RI Bersaing

Agus Mughni Muttaqin | Kamis, 20/11/2025 15:45 WIB
Pemerintah Diminta Evaluasi Kebijakan Visa Wisman agar Pariwisata RI Bersaing Anggota Komisi VI DPR RI Evita Nursanty. Foto: dpr

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi VII DPR RI Evita Nursanty meminta pemerintah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan visa bagi wisatawan mancanegara (wisman). Langkah ini dinilai penting demi meningkatkan daya saing pariwisata Indonesia di kancah global.

Evita Nursanty menilai, Indonesia masih tertinggal dibanding banyak negara ASEAN yang memberlakukan kebijakan bebas visa untuk mendorong pertumbuhan sektor pariwisata dan ekonomi nasional.

"Kita tidak boleh kalah bersaing. Jika negara-negara tetangga sudah membuka visa gratis dan kunjungan mereka meningkat tajam, Indonesia harus melakukan langkah serupa agar tetap kompetitif di ASEAN maupun global," kata Evita di Jakarta, Kamis (20/11).

Dia mengatakan negara-negara seperti Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Vietnam, Kamboja, Laos, Brunei, hingga Myanmar telah memberikan bebas visa kunjungan kepada sebagian besar wisatawan asing. Termasuk, wisatawan dari pasar-pasar besar seperti China, India, Rusia, Eropa, dan negara-negara Timur Tengah.

Sebagai negara dengan potensi pariwisata terbesar seperti Bali, Labuan Bajo, Raja Ampat, Mandalika, Danau Toba, Likupang, Borobudur, dan ratusan destinasi lainnya, Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) itu menilai Indonesia justru belum memaksimalkan peluang tersebut.

Dia mengatakan kebijakan bebas visa terbukti meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan secara signifikan serta memperkuat industri pariwisata negara-negara tersebut.

Sedangkan Indonesia justru mencabut kebijakan bebas visa kunjungan wisata pada saat negara lain berlomba memberikannya pascapandemi COVID-19.

Evita bahkan memandang hal itu menjadi salah satu penyebab wisman ke Indonesia tidak banyak perkembangannya dibandingkan negara tetangga pascapandemi COVID-19.

Dia mencatat kunjungan ke Malaysia itu pada delapan bulan pertama 2025 sudah mencapai 28 juta dari target 31,4 juta tahun 2025. Thailand mencapai 24 juta pada sembilan bulan pertama 2025 dan mereka target 33,4 juta tahun ini.

Sedangkan, Indonesia dalam sembilan bulan pertama 2025 baru meraih 11,43 juta dari target 15 juta sampai akhir 2025. Data itu pun didominasi oleh wisman yang berkunjung ke Bali yaitu sekitar 5,3 juta pada Januari-September 2025, sementara destinasi lain terkesan sepi.

"Bali memang ramai tapi jangan lupa secara nasional kita melihat destinasi wisata kita itu belum mampu menarik lebih banyak wisman untuk berkunjung, seperti Danau Toba, Batam, Jakarta, Likupang-Manado, Lombok, Makassar, Bangka Belitung, dan lainnya," kata dia.

Menurut dia, kebijakan bebas visa akan memberikan dampak ekonomi yang besar, antara lain meningkatkan jumlah kunjungan wisman secara drastis, yang kemudian akan mendorong belanja wisatawan yang berdampak langsung pada UMKM, hotel, restoran, transportasi, dan pelaku ekonomi kreatif, memperluas lapangan kerja, menumbuhkan investasi dan konektivitas udara.

Komisi VII DPR RI, kata dia, menilai kebijakan visa Indonesia masih terlalu restriktif, dan tidak sejalan dengan semangat peningkatan daya saing pariwisata nasional.

Meski begitu, Evita pun menyerahkan kepada pemerintah terkait syarat batas waktu kunjungan bagi wisman dengan tetap memperhatikan aspek keamanan nasional dan pengawasan keimigrasian.

"Apakah dikembalikan seperti sebelumnya diberikan untuk 159 negara atau harus dipilih berdasarkan potensi kunjungan yang lebih besar kita persilakan kepada pemerintah untuk menentukannya," katanya.

Selain itu, dia juga berharap teknologi digital dapat dimanfaatkan untuk membantu tata kelola kebijakan bebas visa kunjungan ini sehingga lebih mudah, mempercepat pemeriksaan di bandara, meminimalkan human error, hingga mengurangi beban petugas Imigrasi dengan tingkat keamanan tinggi.

"Teknologi digital sekarang memungkinkan untuk mempermudah proses dengan pemeriksaan lebih cepat, mendeteksi potensi risiko, dan memastikan keamanan tetap terjaga tanpa menghambat wisatawan, dan pengambilan kebijakan berbasis data sebagaimana diterapkan di negara-negara lain," katanya.