Ilustrasi santri pondok pesantren.
JAKARTA - Gus atau sebutan yang kerap disematkan pada anak dari seorang tokoh agama kembali menjadi sorotan publik, bukan karena pada hal-hal positif, namun sayangnya lebih mengarah pada nuansa yang negatif.
Gus Elham Yahya namanya. Dia menjadi viral usai tindakan yang memicu kontroversi saat mencium anak kecil yang dinilai oleh sebagian orang sebagi bentuk pelecehan.
Sosok yang dikenal sebagai `Gus` ini pun menuai berbagai kritikan dari netizen, bahkan sosoknya pun memicu rasa penasaran publik mulai dari latar belakangnya hingga bagaimana nomenklatur Gus dalam tradisi pesantren di Indonesia.
Nah tahukah kamu bagaimana sejarah penyematan `Gus` dalam tradisi pesantren di Indonesia? Simak ulasannya berikut.
Panggilan `Gus` merupakan salah satu gelar paling terkenal dalam tradisi pesantren di Indonesia, terutama dalam lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan pesantren-pesantren Jawa.
Meskipun terdengar sederhana, sebutan ini memiliki sejarah panjang yang sarat nilai budaya, penghormatan, sekaligus menjadi identitas khas yang tidak ditemukan dalam tradisi Islam di negara lain.
Secara etimologis, istilah `Gus` berasal dari pengucapan masyarakat Jawa terhadap kata `bagus.` Penyebutan `bagus` dalam konteks Jawa klasik digunakan untuk merujuk pada seorang laki-laki muda dari kalangan bangsawan atau keturunan terpandang.
Dalam konteks pesantren, kata ini kemudian mengalami penyempitan makna serta perubahan lafal yang lebih pendek dan mudah diucapkan, hingga akhirnya dikenal luas sebagai `Gus.`
Penggunaannya kemudian melekat secara khusus bagi putra seorang kiai, pucuk pimpinan pesantren, dan tokoh agama yang memiliki garis keturunan keilmuan yang dihormati.
Dalam tradisi pesantren, kiai bukan hanya sosok pengajar agama, tetapi pemimpin spiritual, penjaga tradisi keilmuan, serta tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar.
Putra-putra beliau yang dididik dalam lingkungan pesantren sejak kecil dipandang memiliki potensi melanjutkan kepemimpinan dan keilmuan sang ayah. Karena itu, sebutan “Gus” dimaknai sebagai bentuk penghormatan, bukan semata-mata karena status keluarga, tetapi karena harapan bahwa putra kiai tersebut akan menjadi penerus perjuangan dakwah, menjaga akhlak, serta memelihara warisan pesantren.
Perkembangan sebutan `Gus` semakin meluas pada abad ke-20 seiring peran besar para tokoh keturunan kiai dalam dunia keilmuan, sosial, dan politik di Indonesia.
Sosok seperti KH. Abdurrahman Wahid—yang dikenal sebagai `Gus Dur memberikan citra baru terhadap panggilan ini. Karismanya sebagai pemikir Islam, tokoh kebangsaan, hingga Presiden Republik Indonesia mengangkat nama `Gus` ke panggung nasional.
Sejak itu, masyarakat luas semakin mengenal panggilan ini bukan hanya sebagai gelar keluarga pesantren, tetapi sebagai simbol kecerdasan, kepekaan sosial, dan karakter kepemimpinan yang lahir dari tradisi keilmuan Islam Nusantara.
Meskipun demikian, tidak setiap putra kiai otomatis dipanggil `Gus.` Beberapa pesantren menerapkan syarat kultural tertentu, seperti kemampuan ilmu agama, akhlak, keteladanan.
Dengan kata lain, panggilan `Gus` bukan hanya persoalan garis keturunan, tetapi juga pengakuan sosial terhadap kapasitas seseorang sebagai calon penerus tradisi keilmuan pesantren.